KARYA-KARYA DAN PUBLIKASI DARI SEGENAP CIVITAS FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NGURAH RAI
Kamis, 16 Juli 2009
INFO FT-UNR DENPASAR
Fakultas Teknik, merupakan bagian dari Universitas Ngurah Rai (UNR), didirikan tanggal 22 Mei 1979 dibawah naungan Badan Hukum Penyelenggara Yayasan Jagadhita.
FT-UNR mempunyai dua jurusan yakni : Teknik Sipil dan Teknik Arsitektur, dengan masing-masing program studi telah terakreditasi oleh BAN-PT dan sudah mendapat perpanjangan ijin operasional No. 4431/D/T/2004 & 4436/D/T/2004, Tanggal 8 Nopember 2004.
Visi : Menghasilkan Sarjana dan Meningkatkan kualitas SDM, yang siap bersaing dan berkembang di lapangan kerja.
Misi : Mendidik mahasiswa untuk mengerti, memahami, bersikap dan mampu bekerja dalam bidang ilmu teknik dan ranah kerekayasaan.Mendidik mahasiswa untuk memahami pentingnya bekerja tim (teamwork) dan bekerja sama dengan jaringan (networking).
Pada setiap tahun ajaran baru FT-UNR menawarkan berbagai program untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan Pendidikan Tinggi Teknik Sipil dan Teknik Arsitektur, bentuk program yang ditawarkan :
1. Kelas Reguler, 2. Kelas Intensif, 3 Kelas Konversi, yang merupakan program pendidikan lanjut dari D2, D3 dan Sarjana Muda dalam bidang Teknik Sipil ke S1
Kelas Reguler Perkuliahan diatur dalam delapan semester, perkuliahan dilakukan dari senin sampai jumat, pada pagi dan sore hari (tergantung permintaan).
Kelas Intensif (khusus bagi mereka yang sudah bekerja full time) perkuliahan dilakukan pada akhir minggu ( Jumat, Sabtu, Minggu) dengan sistem Catur Wulan.
Kelas Konversi (mahasiswa melanjutkan dari D2, D3, Sarmud Teknik Sipil) menggunakan sistem Catur wulan, waktu kuliah sesuai permintaan peserta didik.
Biaya Pendidikan dari pembayaran SPP yang besarnya diatur sesuai dengan kelas yang dipilih dan peraturan yang berlaku, bagi mahasiswa yang berprestasi akan diberikan Bea Siswa dari Yayasan Supersemar, PPA dan Bea Siswa Tugas Akhir.
Fasilitas :
- Ruang kuliah didalam kampus yang luas suasananya tenang, nyaman dan sejuk
- Laboratorium : Ukur Tanah, Mekanika Tanah, Beton dan Bahan.
- Fasilitas Olah Raga & Kegiatan Ekstra Kuriluler yang luas dan nyaman
Tenaga Pengajar dari Dosen Tetap Dpk, DosenYayasan dan Dosen Luar Biasa ± 80% berkwalifikasi S2.
Pengelola :
Ketua Yayasan Jagadhita:
Drs. N. Sura Aditanaya, M.Si.
Rektor UNR : Tjokorda Gede Atmadja, SH, MH.
Dekan : Ir. Gede Sumarda,MT
(Hp. 081 758 6684)
Pudek I : Ir. I Gusti Made Sudika
(Hp.0361 7492192)
Pudek II & III : Ir. Wayan Diasa, MT
(Hp. 08155070771)
Kaprodi Sipil : Ir. Made Sudarma, MT.
(Hp.0817568900)
Kaprodi Arsitektur : Ir Ida Bagus Idedhyana.
(Hp. 08123970792)
Pegawai :I Wayan Taku, I Made Warkadana, Komang Adiputra.
Tenaga Pengajar pada FT-UNR berasal dari Dosen Dpk Kopertis Wil VIII, Dosen Yayasan dan Dosen Luar Biasa.
Dosen Tetap :
Ir. I Gusti Bagus Adnyanegara, M. Erg.
Ir. Ngakan Putu Ngurah Nityasa, M. Kes.
Ir. Juniada Pagehgiri, M.M.
Ir. Made Sudarma, MT.
Ir. Agus Wiryadhi Saidi, M.Si.
Ir. I Wayan Pasir (sedang kuliah S2)
Ir. Ketut Sutonder
Ir. Ida Bagus Idedhyana
Ir. Gede Sumarda, MT.
Ir. Ketut Witarka Yudiata, MT.
Ir. I Gusti Made Sudika (sedang kuliah S2)
Dra. I G A Diah Yuniti, M.Si
Ir. Wayan Diasa, MT.
Ida Bagus Gede Indramanik, ST, MT.
Putu Doddy Heka Ardana, ST.(sedang kuliah S2)
Ni Made Swarmini, ST.
Dibantu oleh Dosen Yayasan dan Dosen Luar Biasa :
Dr.Ir. Tjokorda Raka Sukawati
Ir. Ketut Soriarta
Ir. Ketut Suarjawa
Ir. Made Sudiarsa, M.Eng.
Herning Widyawati, M.Eng
Ir. W. Suetja Kader, MM, M.Si
Persyaratan Pendaftaran :
- Menyerahkan Copy Ijasah SMU sederajat yang telah dilegalisir 2 lembar
- Menyerahkan Pas photo ukuran 2x3 dan 3x4 masing-masing 3 lembar
- Menyerahkan Copy KTP/kartu identitas lainnya sebayak 2 lembar
- Membayar Uang Pendaftaran Rp. 100.000,-
- Untuk Kelas Konversi Menyerahkan Copy Ijasah D2, D3 dan Sarmud Serta Copy Transkrip Nilai yang telah dilegalisir 2 lembar.
Tempat dan Waktu Pendaftaran
1. Tempat Pendaftaran di Kampus Fakultas Teknik Universitas Ngurah Rai-Denpasar Jl. Padma Penatih Denpasar Timur Telp. Fax (0361) 462617 (Pagi : Lilik & Juliasa) ; (0361) 467533 (Sore : Taku, Wawkadana, Adi Putra)
2. Waktu : Setiap hari kerja : Pagi pkl 09.00 – 13.00 ; Sore pkl 17.00 – 20.00 wita.
3. Pendaftaran Gelombang I : bulan Juni ; Gelombang II bulan Juli – Agustus
4. Hal-hal yang belum jelas dapat ditanyakan langsung pada saat pendaftaran, lewat telpon dengan contact person kami tersebut di atas atau langsung contact pengelola FT-UNR.
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NGURAH RAI DENPASAR
Fakultas Teknik merupakan salah satu Fakultas di lingkungan Universitas Ngurah Rai yang didirikan tanggal 22 Mei 1979 oleh Yayasan Jagadhita sebagai Badan Hukum Penyelenggara. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 039/o/1981 tanggal 22 Januari 1981, kedua jurusan di lingkungan Fakultas Teknik yaitu Jurusan Teknik Sipil dan Jurusan Arsitektur ditetapkan dengan Status Terdaftar.
Sejalan dengan peningkatan sarana dan prasarana kampus, kualitas tenaga pengajar serta proses belajar-mengajar, dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 074/o/1990 tanggal 22 Desember 1990, Status kedua Jurusan pada Fakultas Teknik Universitas Ngurah Rai ditingkatkan menjadi Status Diakui Terakreditasi sesuai BAN-PT Depdikbud RI No. 022/BAN-PT/AK-VI/Si/IX/2002 tanggal 17 September 2002.
Perjalanan dan perkembangan Fakultas Teknik Universitas Ngurah Rai pada tahun-tahun permulaan ditandai dengan kesederhanaan. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan beberapa sekolah di Denpasar sebagai tempat kuliah. Demikian pula Studio Gambar, masih menggunakan tempat yang sederhana. Berkat usaha yang sungguh-sungguh dari Yayasan Jagadhita serta pengertian dari seluruh staf pengajar dan mahasiswa untuk mempertahankan, bahkan meningkatkan keberadaan Fakultas Teknik Universitas Ngurah Rai, sedikit demi sedikit usaha-usaha ini mulai dapat dirasakan. Dimulai tahun 1985, akhirnya seluruh perkuliahan dan Studio Gambar dapat dilangsungkan secara terpusat di kampus Universitas Ngurah Rai yang baru di Penatih, Denpasar Timur.
Keberadaan Fakultas Teknik Universitas Ngurah Rai tidak dapat dipisahkan dari jasa-jasa dan usaha yang sungguh, khususnya dari Bapak Ir. Robi Sularto Sastrowardojo, Bapak Ir. Wayan Wirya serta bapak-bapak yang lain, yang telah meletakkan dasar yang kuat bagi keberadaan Fakultas Teknik Universitas Ngurah Rai.
Pada awal berdirinya, tenaga pengajar kebanyakan berasal dari Instansi Pemerintah (PU), Universitas Udayana dan tenaga-tenaga swasta dari proyek-proyek yang sedang dilaksanakan di Bali. Dalam perkembangan berikutnya, terasa adanya tuntutan kebutuhan dan kualitas serta tenaga-tenaga pengajar tetap. Hal ini mendapat respons positif dari Kopertis Wilayah VII, yang mulai tahun 1985 memberikan bantuan tenaga pengajar tetap negeri yang dipekerjakan di Fakultas Teknik Universitas Ngurah Rai. Sampai saat ini, bantuan tenaga pengajar dari Kopertis berjumlah 16 orang, terdiri dari 9 orang untuk Jurusan Teknik Sipil dan 9 orang untuk Jurusan Arsitektur.
Demikian pula Yayasan Jagadhita telah menetapkan 6 orang tenaga pengajar, yaitu 4 orang untuk Jurusan Teknik Sipil dan 2 orang untuk Jurusan Arsitektur. Sementara itu, tenaga pengajar luar biasa dari kalangan Instansi Pemerintah, Fakultas Teknik Universitas Udayana, Politeknik Negeri Bali serta dari kalangan swasta yang berkualtas, terus dimantapkan dan ditingkatkan sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan jumlah mahasiswa.
Melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi yang meliputi Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian serta Pengabdian pada masyarakat, keberadaan Fakultas Teknik Universitas Ngurah Rai terus dimantapkan. Sehingga melalui kegiatan-kegiatan intra dan esktra kurikuler, dapat dirasakan manfaatnya oleh mahasiswa sendiri, Pemerintah dan masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan meliputi Bhakti Sosial, Kuliah Kerja Lapangan, Kemah Ilmiah Mahasiswa, Temu Karya Ilmiah Mahasiswa, Penyuluhan, Pameran, Penelitian, Ceramah Ilmiah, Seminar, Diskusi dan lain-lain. Disamping hal tersebut, partisipasi dan penyelenggaraan kegiatan keolahragaan dan kesenian juga dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat melalui kegiatan pertandingan dan perlombaan, baik yang dilaksanakan di tingkat Fakultas, Universitas. Kopertis Wilayah VIII, Pemerintah dan swasta/lembaga/badan lainnya.
Dalam perjalanan Fakultas Teknik Universitas Ngurah Rai menuju tingkat persaingan yang semakin ketat, maka peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya, mutlak diperlukan. Mengantisipasi hal tersebut, mulai tahun 1996, 10 orang tenaga pengajar mengikuti pendidikan lanjutan Strata Dua (S-2). Demikian pula peningkatan fasilitas penunjang pendidikan, seperti usaha pengadaan laboratorium, perpustakaan Fakultas, komputer dan kelengkapan studio gambar terus ditingkatkan agar dapat mencapai hasil optimal, sehingga lulusan Fakultas Teknik Universitas Ngurah Rai tetap mampu bersaing dan dapat merebut pasar kerja dalam era globalisasi ini.
MATERI KULIAH
A. Faktor-faktor yang mempengaruhi panjang Runway :
1. Karakteristik performan dan operasional dari pesawat yang dilayani
2. Cuaca, terutama angin permukaan dan suhu
3. Karakteristik Runway, seperti kemiringan (slope) dan kondisi permukaan
4. Faktor lokasi Aerodrome, sebagai contoh elevasi dari aerodrome yang menyebabkan tekanan barometer dan keterbatasan topografi
B. Panjang Aktual Runway
• Panjang aktual runway yang ada harus cukup untuk memenuhi persyaratan operasional pesawat dan tidak boleh kurang dari panjang terpanjang runway setelah dikoreksi dengan kondisi lokal.
• Persyaratan take-off dan landing harus diperhitungkan pada waktu menentukan panjang runway.
• Apabila data tentang pesawat yang akan menggunakan runway tersebut tidak diperoleh, panjang runway ditentukan berdasarkan panjang yang telah dikoreksi akibat kondisi lokal.
Panjang runway yang dibutuhkan oleh masing-masing jenis pesawat biasanya telah diberikan oleh pabrik pembuat pesawat tersebut. Tetapi dalam merencanakan panjang runway yang sesungguhnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
- Performan pesawat
- Pengaruh elevasi terhadap muka air laut, temperatur dan gradien.
Pengaruh Kemampuan Pesawat Terhadap Panjang Landas Pacu Dalam Perencanaan Geometric.
1. Pengertian dan difinisi.
a. Kecepatan awal untuk mendaki, Initial Climb Out Speed (V2):
Kecepatan minimum, pilot diperkenankan untuk mendaki sesudah pesawat mencapai ketinggian 10,5 M (35 Ft) di atas permukaan landas pacu.
b. Kecepatan putusan (Decision Speed (V1):
Kecepatan yang ditentukan dimana bila mesin mengalami kegagalan pada saat kecepatan V1 belum tercapai, pilot harus menghentikan pesawat, tetapi bila mesin mengalami kerusakan sesudah V1 tercapai tidak ada pilihan lain pilot harus terus menerbangkan pesawat (lepas landas) tidak boleh menghentikan atau mengurangi laju pesawat. Sebagai pedoman umum, besarnya V1 lebih kecil atau hampir sama dengan V2, kecepatan V1 ditulis terang-terang pada flight manual pesawat.
c. Kecepatan Rotasi (Rotation Speed) Vr :
Yaitu kecepatan pada saat itu pilot mulai mengangkat hidung pesawat, agar pesawat mulai lepas landas dengan menarik handel ke belakang.
d. Kecepatan angkat (Lift Off Speed) Vlof;
Kecepatan dari kemampuan pesawat, di saat itu badan pesawat mulai terangkat dari landasan.
e. Jarak Lepas Landas (Take Off Distance);
Yaitu jarak horizontal yang diperlukan untuk lepas landas dengan mesin tidak bekerja tetapi pesawat telah mencapai ketinggian 10,5 M (35 Ft) di atas permukaan landasan atau,115% dari jarak horizontal yang diperlukan untuk lepas landas dengan mesin-mesin masih bekerja, pesawat telah mencapai ketinggian 10,5 M (35 Ft) di atas permukaan lepas landas, dari dua keadaan mana yang lebih besar.
f. Take Off Run :
1). Jarak dari awal take off ke suatu titik, dimana dicapai V lof (Lift Off Speed), ditambah dengan setengah jarak, pesawat mencapai ketinggian 10,5 M (35 Ft) dari V lof, pada keadaan mesin pesawat tidak bekerja (In Operative).
2). Jarak dari awal take off ke suatu titik dimana dicapai V lof (Lift Off Speed) dikalikan 115% ditambah setengah jarak, pesawat mencapai ketinggian 10,5 M (35 Ft) dari V lof, dikalikan 115%. Dalam keadaan mesin pesawat bekerja, baik dari a dan b mana yang lebih besar itulah take off run.
Lihat gambar (1 - 6A)a dan gambar (1 - 6A)b.
g. Accelerate Stop Distance :
Jarak yang diperlukan untuk mencapai kecepatan V1 ditambah jarak yang diperlukan untuk berhenti dari titik V1.
h. Stop Way :
Perpanjangan landasan, digunakan untuk menahan pesawat pada waktu gagal lepas landas.
i. Clearway:
Area di luar akhir landasan lebarnya paling sedikit 500 feet. As Clearway merupakan perpanjang as landasan, masih di bawah kontrol Kepala Pelabuhan Udara, panjangnya tidak boleh melebihi 1/2 panjang take off run.
Keterangan gambar (1-6)A, gambar a melukiskan kasus pesawat lepas landas dengan mesin mengalami kegagalan.
Pesawat siap di titik A untuk lari berpacu, pilot siap untuk menjalankan pesawat, pesawat lari, dipercepat dan mencapai desicion speed V1 di titik B. Tiba-tiba mesin dianggap mati di titik ini dan diketahui oleh pilot tapi kecepatan sudah mencapai V1 pilot bisa melakukan salah satu tindakan dari :
1). Mengerem pedal pesawat, sampai pesawat berhenti di titik Y maka titik A-Y disebut Accelerate Stop distance.
2). Melanjutkah percepatan dengan mesin mati sampai men-dapat kecepatan rotasi (Rotation Speed) VR di titik C, di situ hidung pesawat terangkat naik dan setibanya di titik D, dengan kecepatan angkat (Lift Off Speed) Vlof, pesawat naik terangkat dari bumi dan melanjutkan terbang di akhir titik take off run X sampai mencapai ketinggian 10,5 m (35 feet) di atas landasan dan mulai mendaki di titik Z. Titik A - Z disebut take off distance.
Gambar b, melukiskan kasus penerbangan dalam keadaan lepas landas normal. Semua mesin pesawat berjalan baik, pesawat siap pacu di titik A, pilot mulai menjalankan pesawat, berpacu, mendapatkan kecepatan V1 di titik B' mesin normal.
Pilot melanjutkan percepatan sampai kecepatan rotasi (VR) di titik C di situ hidung terangkat naik dan mencapai kecepatan angkat V lof di titik D' pesawat terangkat naik dari ketinggian 10,5 m (35 feet) di titik Z' dan mulai mendaki.
Dianggap bahwa bila panjang landas pacu cukup menurut perhitungan berdasarkan kemampuan pesawat, pesawat dapat lepas landas dengan maximum Structural take off weight. Tetapi nyatanya belum tentu sebab harus kita perhatikan juga faktor lain yaitu ketinggian lapangan terbang di atas muka laut (Elevasi) dan temperatur udara. Faktor ini harus diperhatikan sebab FAA dan Industri pesawat terbang di Amerika sepakat untuk membuat aturan pesawat harus tetap dapat terbang dengan satu mesin mati, dengan kemiringan garis terbang yang ditentukan.
Kemampuan pesawat dengan satu mesin mati harus didemonstrasikan pada landasan tanpa obstacle (halangan), pada hari panas temparatur tinggi dan elevasi yang lebih tinggi, pesawat masih dapat terbang (dengan mesin satu mati atau mesin normal) pada kemiringan garis terbang minimum dengan muatan maximum Structural take off weight.
Namun untuk keselamatan ICAO telah membatasi kemiringan garis terbang itu dan pesawat harus terbang di atas garis kemiringan yang ditentukan agar tercapai maka muatan tidak bisa pada M.T.O.W, harus dikurangi, didapat berat yang disebut: Berat yang dibatasi oleh garis pendakian pesawat (Climb Limited Weight) inilah berat pesawat yang harus dilayani oleh panjang landas pacu tersedia, lebih panjang landasan, operator tidak mendapat keuntungan muatan,sebagai contoh:
Pada ketinggian muka laut, temperatur 80°F - 26,6°C maximum take off weight (MTOW) yang diizinkan, untuk Boeing 747 A adalah 710.000 lbs = 322 ton, dihitung terhadap maximum Structural take off weight.
Pada temperatur sama, elevasi 2.000 ft = 609,5 m di atas muka laut, M.T.O.W yang diizinkan diturunkan menjadi 662.000 lbs = 300,28 ton diperhitungkan antara kemampuan pesawat dan Climb Limited Weight.
Bila pada elevasi 2.000 ft = 609,5 m tidak ada batasan garis pendakian pesawat (Climb restriction) panjang landas pacu yang diperlukan untuk 710.000 lbs = 322 ton (MSTOW) menjadi 13.400 ft = 4.085 m padahal panjang landas pacu dengan Climb Limited Weight 662.000 lbs adalah 11.100 ft = 3.383 m.
Panjang landasan lebih dari 11.100 feet sudah tidak menguntungkan bagi pemerintah & perusahaan penerbangan. Bila ada halangan (Obstacle/Obstrution) pada jalur penerbangan di perpanjangan landasan dan obstruction cukup tinggi, misalnya gedung bertingkat, yang sudah tidak mungkin dipindahkan, antena. Take off weight yang diizin-kan harus dikurangi, sampai jalur terbang dengan Obstruction cukup jauh, berat ini disebut Obstacle Limited Weight.
Didalam menghitung kebutuhan panjang landas pacu, dipakai peraturan dari Federal Aviation Regulation (FAR), yang disusun oleh Pemerintah Amerika bersama Industri Pesawat terbang, serta persyaratan-persyaratan yang dikeluarkan oleh I.C.A.O. Peraturan berkenaan dengan pesawat bermesin piston, di dalam menghitung panjang landasan agar pesawat terjamin keselamatannya ditinjau dari kasus:
1). Lepas landas dengan anggapan mesin gagal, diperhitungkan landas pacu yang dibutuhkan cukup panjangnya, agar pesawat melanjutkan penerbangan walaupun kehilangan tenaga atau bahkan direm untuk berhenti.
2). Mendarat, diperhitungkan landas pacu yang diperlukan cukup panjangnya untuk berbagai teknik men¬darat, Overshoot, pendaratan yang jelek dan semacamnya.
Peraturan berkenaan dengan pesawat bermesin turbin, prinsip masih memakai kriteria di atas, tetapi ditambahkan kriteria ketiga,
3). Yaitu "All Engine Take Off" semua mesin dalam keadaan baik. Diperhitungkan landas pacu cukup panjangnya, sehingga memungkinkan berbagai variasi dalam tehnik lift off dan tehnik lift off dari karakteristik kemampuan pesawat tertentu. Peraturan dengan anggapan all engine take off dipakai dalam menghitung pesawat turbin, sebab kejadian sehari-hari jarang ada mesin turbin mengalami kegagalan.
Panjang landas pacu untuk pesawat bermesin turbin, diambil yang terpanjang dari ke 3 analisa di atas. Dalam membicarakan pesawat bermesin piston dan pesawat bermesin turbin, kata-kata landas pacu, lan¬dasan, runway, menunjukkan perkerasah dengan kekuatan penuh sehingga runway atau Full Strenght Pavement adalah sinonim. Panjang landas pacu untuk pesawat bermesin turbin tidak memerlukan perkerasan sepanjang take off distance, tetapi untuk pesawat bermesin piston memerlukan perkerasan sepanjang take off distance. Untuk membahas peraturan bagi pesawat bermesin turbin (FAR) Part 25 dan 121 dengan tiga keadaan yang ditinjau, marilah kita lihat gambar 1 - 6B.
Kasus pendaratan (landing):
Gambar (1 - 6B)a paling mudah untuk diterangkan jarak pendaratan (Landing Distance), diperlukan oleh pesawat yang datang ke lapangan terbang, harus cukup panjang sehingga pesawat dapat mendarat dan berhenti pada 60% dari panjang landasan, dengan anggapan bahwa pilot membuat pendekatan — (Approach) pada kecepatan semestinya dan melintasi Threshold — pada ketinggian 50 feet, landing distance harus mempunyai perkerasan penuh. Landing distance untuk pesawat bermesin piston diperhitungkan sama dengan pesawat bermesin turbin.
Kasus, All Engine Take Off (Operating) :
Gambar (1 - 6B)c.disebut 'Take Off Distance" untuk pesawat dengan berat Spesifikasi take off distance harus 115% dari panjang sesungguhnya untuk mencapai ketinggian 35 Feet (10,5 m) tidak seluruh panjang harus mempunyai perkerasan dengan Full Strength.
Yang harus diperhatikan seluruh panjang (115% x panjang yang dibutuhkan sesungguhnya) harus bebas dari hambatan untuk melindungi bila terjadi Over Shooting take off.
Bagian yang tidak diberikan perkerasanlah yang lebih kita kenal dengan Clearway.
Clearway sebagai perpanjangan dari akhir landas pacu, kemiringan memanjang tidak boleh lebih dari 1,25%, sedang-kan di atasnya tidak boleh ada benda yang menjulang atau bukit yang mengganggu.
Di daerah-daerah ini boleh dipasang lampu-lampu threshold tetapi tingginya tidak boleh lebihtinggi dari 66 Cm dari permukaan landasan dan dipasang di ujung-ujung landasan.
Setengah dari selisih antara take off Distance (115% mencapai ketinggian 35 feet/10,5 m) dengan 115% kali jarak pesawat mencapai lift off adalah Clearway.
Take off distance dikurangi Clearway disebut take off run yang harus mempunyai perkerasan dengan full strength.
Kasus Mesin Pesawat Gagal.
Pada kasus ini jarak lepas landas yang dibutuhkan adalah jarak sesungguhnya untuk mencapai ketinggian 35 feet (10,5 m) tanpa penambahan presentase 15% seperti kasus all engine operating di atas (gambar 1-6 B)b. Kejadian demikian jarang terjadi. Dalam kasus ini digunakan juga Clearway yaitu setengah dari selisih antara take off distance (jarak untuk mencapai ketinggian 10,5 m) dikurangi jarak untuk mencapai lift off. Sisa take off distance dikurangi Clearway harus mempunyai perkerasan Full Strength akan tetapi untuk pesawat-pesawat bermesin piston seiuruh take off distance harus mempunyai perkerasan full strength tanpa ada Clearway yang boleh tanpa perkerasan.
Sebagai dikatakan di depan pada kejadian mesin gagal dibutuhkan panjang landasan yang cukup untuk memberhentikan pesawat.
Panjang landas pacu cukup untuk berhenti ketika terjadi kegagalan mesin itu kita kenal sebagai "Accelerate Stop Distance".
Untuk pesawat bermesin piston, accelerate stop distance harus mempunyai perkerasan yang full strength, tetapi untuk pesawat bermesin turbin kegagalan lepas landas jarang terjadi, sehingga pada ujung landasan tidak perlxj mempunyai perkerasan sekuat take off run cukup diperluas dengan Strength yang lebih kecil, daerah ini disebut Stopway (Amerika) Overrun (Inggeris).
Tampak di sini bahwa take off distance dan Accelerate Stop Distance tergantung kepada kecepatan pesawat, ketika mesin gagal mengangkat pesawat. Kecepatan ini disebut V1 ditentukan oleh pabrik pesawat terbang berdasarkan percobaan berratus kali, selanjutnya dikenal "Kecepatan kritis mesin untuk menderita kegagalan".
Pesawat bermesin piston membutuhkan full strength pavement untuk seluruh panjang accelerate stop distance dan take off distance yang paling ekonomis adalah memilih titik, pesawat mencapai V1 sehingga jarak yang diperlukan untuk stop dari titik V1 tercapai.
Sama dengan jarak yang diperlukan (dari titik yang sama) untuk mencapai ketinggian spesifik di atas landasan (bagi pesawat bermesin piston ketinggian tidak selalu 35 feet) Konsep ini disebut.:
— Balanced Field Length.
— Balanced Runway.
Menghasilkan panjang landasan yang paling pendek: agar mudahnya V1 dipilih sehingga jarak take off yang diperlukan = jarak Accelerate stop yang diperlukan.
Bagi pesawat bermesin turbin, tidak perlu mengikuti konsep di atas cukup dengan menambahkan Stopway atau Clearway pada perpanjangan landas pacu.
Dari uraian di atas, perlu dimengerti hubungan-hubungan antara V1 dan berbagai komponen dari take off distance dan accelerate stop distance (lihat gambar 1 - 8).
Bisa dilihat bahwa makin tinggi kecepatan V1 take off distance menjadi lebih pendek, sebab pesawat mendapat keuntungan dari percepatan mesin-mesin, tetapi accelerate stop distance yang berkaitan bertambah.
Gambar 1 - 8 termasuk konsep untuk pesawat bermesin turbin yaitu dengan adanya stop way atau Clearway tetapi konsep balanced field length juga tampak di situ, beberapa alternative bisa dimungkinkan :
1). Dipilih V1 sama dengan konsep Balanced Field Length, panjang Clearway dan Stopway menjadi sama. berarti landas pacu yang diperkeras (ditunjukkan. Lu-1) dapat diperpendek sepanjang Clearway tetapi stop way masih tetap harus dibangun.
2). Dipilih V1 sedemikian hingga dapat imbangan antara accelerate stop distance dengan take off run. Dalam pilihan ini panjang landas pacu adalah Lu-2 lebih pendek dari LB tanpa dibutuhkan stopway dengan pilihan ini landas pacu diperpendek.
3). Dipilih kecepatan V1 yang agak tinggi dengan tujuan mengurangi panjang take off distance, tetapi accelerate stop distance akan bertambah juga. Dalam pilihan ini panjang landas pacu Lu-3 tetapi harus diingat Accelerate Stop distance bertambah panjang.
Alternative terakhir menguntungkan bagi lapangan terbang yang terdapat halangan (obstacles) di dekat akhir ujung landasan. Peraturan mengenai pesawat bermesin turbin memungkinkan sejumlah alternative kepada Operator, bahwa panjang take off distance dan panjang take off run untuk kasus kegagalan mesin harus dibandingkan dengan panjang yang berkaitan dengan kasus semua mesin berjalan baik.
Jarak yang lebih panjang tentu yang diambil.
Sebegitu jauh tampak bahwa panjang landas pacu berkaitan erat dengan ketinggian, kecepatan dan kebutuhan-kebutuhan spesifik lainnya dari kemampuan pesawat.
Perusahaan penerbangan dan pengelola pelabuhan udara sama-sama berkepentingan terhadap Clearway sebab dengan adanya Clearway di saat tertentu perusahaan penerbangan memungkinkan untuk menambah take off weight dengan tambahan biaya sedikit tetapi pesawat tetap aman.
Untuk menerangkan pendakian (Climb) dan bebas halangan (Obstacle Clerance) lihatgambar (1 -9).
Pendakian diatur dalam istilah "Take Off Flight Path" yaitu mulai dari pesawat mencapai ketinggian 35 feet dari muka tanah (dengan satu mesin mati) sampai titik pesawat mencapai ketinggian 1.500 feet. Take off flight path dibagi menjadi empat segmen, segmen satu, segmen dua, segmen tiga dan segmen empat. Segmen tiga dan empat disebut segmen transisi, perhatikan setiap segmen mempunyai kemiringan pendakian minimum, ditentukan oleh jumlah mesin pesawat, jadi tiap-tiap pesawat mempunyai take off flight path yang spesifik.
Kemiringan terbesar pada segmen kedua, segmen kedua ini segmen yang kritis dan menentukan dalam menghitung Climb Limited Weight. Lihat segmen kedua mulai dari titik ketika landing gear ditarik ke dalam badan pesawat dan berakhir ketika pesawat mencapai ketinggian 400 ft di atas permukaan akhir landas pacu.
Pada segmen trasisi pilot atau perusahaan penerbangan memiliki kebebasan untuk memilih pendakian pesawat dengan caranya masing-masing dengan batasan tidak lebih rendah dari garis kemiringan yang sudah ditentukan oleh gambar 1-9.
Jika terdapat halangan (Obstacle) sepanjang jalur penerbangan, sedangkan obstacle itu cukup tinggi, garis pendakian minimum pada gambar 1-9 itu harus dikoreksi sehingga didapat garis jalur penerbangan bebas dari halangan.
Sesuai peraturan penerbangan, jalur penerbangan bebas halangan disebut "Net Take Off Flight path" dengan satu mesin mati, kebebasan terhadap halangan tidak boleh kurang dari 35 feet.
Net take off flight path didapat dengan mengalikan jalur penerbangan sesungguhnya dengan 0,8% pesawat bermesin ganda; 0,9% untuk pesawat bermesin tiga dan 1% untuk pesawat bermesin 4 (Federal Aviation Regulation Part 25).
Anggap terdapat obstacle setinggi 120 ft = 36,6 m sejauh 3.400 ft = 1.036 m dari ujung landas pacu. Dengan kondisi ini diperhitungkan Obstacle Limited Weight 656.000 lbs = 297, 56 ton sedikit lebih kecil dari Climb Limited Weight yang 662.000 lbs = 300 ton.
Panjang landas pacu untuk melayani pesawat berat 656.000 Ib adalah 10.900 ft = 3.322 m dari sini kita bisa tahu bahwa bila obstacle bisa dihilangkan atau diturunkan maka pesawat bisa membawa 662.000 lbs = 300 ton.
Dengan dibuangnya obstacle, kehilangan berat yang bisa dibawa pesawat yang berarti kerugian perusahaan pener¬bangan sejumlah 54.000 lbs menjadi 48.000 lbs tidak terjadi.
Dari penjelasan terakhir ditunjukkan bahwa dalam pemilihan lokasi untuk lapangan terbang, menguntungkan bila :
1. Relatif bebas dari obstacle pada jalur penerbangan.
2. Sedekat mungkin ke daerah muka laut, terutama untuk pesawat yang akan diterbangkan pada atau sekitar maxi¬mum Structural take off weight dan pada saat yang sama mempunyai temperatur tinggi.
PENGARUH PANJANG RUNWAY TERHADAP PERFORMAN PESAWAT.
Panjang mnway (field length = FL) biasanya terbentuk dari tiga komponen, yaitu : full-strength pavement (FS), partial-strength pavement atau stopway (SW) dan clearway (CL). Panjang runway yang dibutuhkan tersebut tergantung dari performan pesawat.
Yang dimaksud performan pesawat adalah kemampuan pesawat untuk melakukan take-off dan landing.
Ada empat kondisi performan pesawat yang harus diperhatikan
• Normal take-off
• Take-off dengan kegagalan mesin
• Pembatalan take-off
• Landing
Untuk masing-masing kasus di atas, berikut ini diberikan beberapa persamaan untuk menentukan panjang runway.
■
1. Normal Take-off
FL = FS + CLmax
TOD=1.15 (D35)
CLmax= 0.50 [TOD - 1.15 (LOD)]
TOR = TOD - CLmax
FS = TOR
2. Engine failure take-off
FL = FS + CLmax
TOD = D35
CLmax = 0.5 (TOD - LOD)
TOR = TOD - CLmax
FS = TOR
3. Pembatalan take-off
FL = FS + SW
FL = ASD
4. Landing
FL = LD
LD = SD/0.60
FL = LD
Dari keempat kasus tersebut di atas dipilih salah satu yang mewakili, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada persamaan berikut:
FL = max (T0D1, T0D2, ASD; LD)
FS = max (TOR1, TOR2, LD)
SW = ASD - max (TOR1, TOR2, LD)
SW min = 0
CL = min (FL - ASD, CL1max, CL2max)
CLmin = 0 ; CLmax = 1000 ft
Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada gambar 1.6. dan contoh sbb. :
Example Problem Determine the runway length requirements according to the specifications of FAR parts 25 and 121 for a turbine-powered aircraft with the following performance characteristics:
Normal take-off:
Lift off distance = 7000 ft (LOD = 7000 ft)
Distance to 35ft height = 8000 ft (D35 = 8000 ft)
Engine failure:
Lift off distance = 8200 ft
Distance to 35-ft height = 9100 ft
Engine-failure Aborted take off:
Accelerate-stop distance = 9500 ft
Normal landing:
Stop distance = 5000 ft
From Eqs. (3-1) for a normal takeoff
TOD1 = 1.15(D351) = 1.15 x 8000 = 9200 ft
CL1 max = 0.50 [TOD1 – 1.15(LOD1)]
= 0.50[9200 - 115(7000)] = 575 ft
TOR1 = TOD - CL1max = 9200 – 575 = 8625 ft
From Eqs. (3-2) for an engine-failure takeoff,
TOD2 = D352 = 9100 ft
CL2max = 0.50(TOD2 - L0D2) = 0.50(9100 - 8200) = 450 ft
TOR2 = TOD2 - CL2max= 9100 - 450 = 8650 ft
From Eq. (3-3) for an engine-failure aborted takeoff,
ASD = 9500 ft
From Eqs. (3-4) for a normal landing,
LD=
By using the above quantities in Eqs. (3-5) through (3-8), the actual runway component requirements become
FL = max (TOD1, TOD2, ASD, LD)
= max (9200, 9100, 9500, 8333)
= 9500 ft
FS = max (TOR1, TOR2, LD)
= max (8625, 8650, 8333) = 8650 ft
SW = ASD – max(TOR1, TOR1, LD)
= 9500 - max (8625, 8650, 8333)
= 9500 - 8650 = 850 ft
CL = min (FL - ASD, CL1max, CL2max)
= min (9500 - 9500, 575, 450) = 0
The sketch in Fig. 3-23 shows the required runway field length and the components of this field for operations in both directions. Observe that for this case there is a displaced threshold at each end of the runway since the stopway is not available for normal aircraft operations.
B. PENGARUH ELEVASI, TEMPERATUR, DAN GRADIEN
Aeroplane. Reference Field Length (ARFL) didefinisikan sebagai panjang field length minimum yang diperlukan oleh pesawat terbang yang bersangkutan untuk dapat take-off dengan Maximum Take-off Weight, dimana kondisi lapangan terbang adalah Mean Sea Level (MSL), pada kondisi atmosfir standar, runwaynya tidak mempunyai kelandaian (Zero Runway Slope), serta tidak ada angin. ARFL setiap pesawat terbang dapat dilihat di flight manual yang diterbitkan oleh pabrik pesawat terbang yang bersangkutan.
ARFL suatu pesawat terbang yang ada bukanlah panjang aktual yang dipersiskan oleh pesawat terbang tersebut untuk dapat beroperasi di suatu daerah tertentu. Hal ini disebabkan karena kondisi lingkungan daerah tersebut berbeda dengan kondisi ditnana ARFL ditetapkan. Karena itu, untuk mendapatkan panjang runway aktual untuk take-off, ARFL tersebut perlu dikoreksi akibat eievasi, temperatur, dan kelandaian runway.
Makin tinggi eievasi suatu tempat, makin berkurang kepadatan (density) udara di tempat tersebut. Karena itu untuk mendapatkan gaya angkat yang memadai pada daerah tersebut pesawat terbang harus bergerak lebih cepat. Akibatnya runway yang diperlukan harus lebih panjang. Koreksi akibat eievasi lapangan terbang ini adalah bahwa panjang runway hams diperpanjang 7% setiap 300 m kenaikan eievasi terhadap muka air laut.
Temperatur yang makin tinggi akan mengurangi kepadatan udara. Karena itu makin tinggi Airport Reference Temperatur (ART), makin panjang runway yang diperlukan. ARFL yang telah dikoreksi akibat pengaruh eievasi harus dikoreksi lagi akibat pengaruh temperatur. Panjang runway yang diperlukan untuk take-off yang telah dikoreksi akibat eievasi haras diperpanjang 1% untuk setiap derajat Celcius naiknya ART terhadap temperatur standar lapangan terbang tersebut.
Temperatur standar adalah temperatur yang berhubungan dengan atmosfir standar. Temperatur standar suatu lapangan terbang dipengaruhi pula oleh eievasi lapangan terbang tersebut. Pada perencanaan lapangan terbang atmosfir standar yang digunakan adalah atmosfir standar international (International Standard Atmosphere, ISA), dimana pada kondisi ini temperatur pada Mean Sea Level adalah 15° C. Untuk menentukan temperatur standar suatu lapangan terbang dapat digunakan nomogram yang ada pada Gambar 1.7.
Selanjutnya panjang runway yang dibutuhkan untuk take-off harus dikoreksi terhadap kelandaian memanjang runway. Untuk itu digunakan Effective Gradient, yaitu rasio antara selisih titik tertinggi dan titik terendah pada runway terhadap panjang runwaynya. Untuk setiap 1% Effective Gradient runway harus diperpanjang 10%.'
Secara singkat, dapat dirumuskan sebagai berikut:
Actual runway length = ARFL x Ce x Ct x Cs
Dimana :
Ce= 1+(0.O7xE/3O0)
Ct = 1 + 0.01 [T - (15 - 0.0065E)]
Cs = 1 +O.1OS
Berikut ini diberikan contoh untuk menghitung panjang runway aktual yang diperlukan oleh suatu pesawat terbang untuk dapat beroperasi di suatu lapangan terbang dengan kondisi lingkungan tertentu.
a Data
1. Pesawat terbang rencana : Airbus A-300-600 dengan ARFL = 2384 m
2. Elevasi lapangan terbang : 500 m (1500 ft.) di atas Mean Sea Level (MSL)
3. Temperatur standar lapangan terbang tersebut adalah l2°C.
4. Airport Reference Temperature (ART) : 29° C
5. Kelandaian (effective slope) runway : 0.8 %
b. Koreksi terhadap panjang runway
1. Panjang runway yang dikoreksi akibat pengaruh elevasi = [ 2384 x 0.07 x 500/300 ] + 2384 = 2635 m
2. Panjang runway yang dikoreksi akibat pengaruh elevasi dan temperatur = [2635 x (29 - 12 ) x 7/100 ] = 3083 m
3. Panjang runway yang dikoreksi akibat pengaruh elevasi, temperatur, dan kelandaian = [ 3083 x 0.8 x 10/100 ] + 3083 = 3330 m
c. Panjang runway aktual : 3330 m.
BASE ISOLATOR PADA BANGUNAN
(Konsep Dasar dan Desain Pemasangannya Pada Bangunan)
Oleh :
I Gusti Made Sudika*
FT- UNR
Abstrak
Perencanaan bangunan tahan gempa konvensional selama ini berdasarkan pada konsep bagaimana meningkatkan kapasitas tahanan struktur terhadap gaya gempa yang bekerja padanya (membuat: Capacity > Demand).
Adalah tidak praktis untuk terus meningkatkan kekuatan bangunan dengan tak terbatas. Seiring dengan perkembangan teknologi dalam perencanaan bangunan tahan gempa, telah dikembangkan suatu pendekatan desain alternatif untuk mengurangi resiko kerusakan bangunan akibat gempa, dan mampu mempertahankan integritas komponen struktural dan non-struktural terhadap gempa kuat. Pendekatan desain ini bukan dengan cara memperkuat struktur bangunan, tetapi adalah dengan mereduksi gaya gempa yang bekerja pada bangunan. Salah satu konsep pendekatan perencanaan yang telah digunakan banyak orang adalah dengan menggunakan isolasi seismic atau sering juga disebut dengan nama base isolation.
Dalam tulisan ini dibahas mengenai jenis isolator yang telah dikembangkan, konsep dasar dari desain dan penempatannya pada bangunan.
Kata kuunci: Base Isolation,Isolasi Seismic, Gempa
(Konsep Dasar dan Desain Pemasangannya Pada Bangunan)
Oleh :
I Gusti Made Sudika*
FT- UNR
Abstrak
Perencanaan bangunan tahan gempa konvensional selama ini berdasarkan pada konsep bagaimana meningkatkan kapasitas tahanan struktur terhadap gaya gempa yang bekerja padanya (membuat: Capacity > Demand).
Adalah tidak praktis untuk terus meningkatkan kekuatan bangunan dengan tak terbatas. Seiring dengan perkembangan teknologi dalam perencanaan bangunan tahan gempa, telah dikembangkan suatu pendekatan desain alternatif untuk mengurangi resiko kerusakan bangunan akibat gempa, dan mampu mempertahankan integritas komponen struktural dan non-struktural terhadap gempa kuat. Pendekatan desain ini bukan dengan cara memperkuat struktur bangunan, tetapi adalah dengan mereduksi gaya gempa yang bekerja pada bangunan. Salah satu konsep pendekatan perencanaan yang telah digunakan banyak orang adalah dengan menggunakan isolasi seismic atau sering juga disebut dengan nama base isolation.
Dalam tulisan ini dibahas mengenai jenis isolator yang telah dikembangkan, konsep dasar dari desain dan penempatannya pada bangunan.
Kata kuunci: Base Isolation,Isolasi Seismic, Gempa
1. Pendahuluan
Sebagian dari wilayah di dunia yang dihuni manusia merupakan daerah rawan gempa, dan harapan masyarakat adalah bagaimana para ahli struktur mampu mendisain bangunan sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat tinggal didalamnya dengan tenang dan aman terhadap guncangan gempa.
Filosophi perencanaan bangunan tahan gempa yang diadopsi hampir seluruh Negara di dunia mengikuti ketentuan berikut ini (Teruna,2007):
a) Pada gempa kecil bangunan tidak boleh mengalami kerusakan
b) Pada gempa menengah komponen struktural tidak boleh rusak, namum komponen non-struktural diijinkan mengalami kerusakan
c) Pada gempa kuat komponen struktural boleh mengalami kerusakan, namum bangunan tidak boleh mengalami keruntuhan
Jadi, bangunan yang dirancang secara konvensional harus mampu berdeformasi inelastic, dengan kata lain bangunan harus berperilaku daktail. Namun, meningkatkan kinerja bangunan pada level operasional merupakan tujuan utama bagi beberapa tipe bangunan seperti:
a) Bangunan yang berhubungan dengan fasilitas keadaan darurat (rumah sakit, pembangkit listrik, telekomunikasi, dsb)
b) Bangunan dengan komponen atau bahan yang beresiko tinggi terhadap makhluk hidup(fasilitas nuklir, bahan kimia, dsb)
c) Bangunan yang berhubungan dengan orang banyak (mall, apartemen, perkantoran, hotel, dsb)
d) Bangunan yang berhubungan dengan pertahanan Negara
e) Bangunan yang memiliki komponen dan peralatan elektronik yang mahal
f) Bangunan/museum/monumen yang berhubungan dengan sejarah
Perencanaan bangunan tahan gempa konvensional selama ini berdasarkan pada konsep bagaimana meningkatkan kapasitas tahanan struktur terhadap gaya gempa yang bekerja padanya (membuat: Capacity > Demand). Langkah umum yang biasanya dilakukan misalnya dengan mengunakan shear wall, system rangka pemikul momen khusus, system rangka dengan brasing dan sebagainya. Konskwensinya, pada bangunan dimana kekakuan lateralnya cukup besar akan mengalami percepatan lantai yang besar, sedangkan pada bangunan fleksibel akan mengalami perpindahan lateral yang cukup besar, sehingga bangunan akan mengalami kerusakan yang signifikan pada peristiwa gempa kuat.(Teruna,2007)
Gambar 1.1 Transmition of Ground Motions (Kelly,2001)
Seperti kita ketahui, bahwa gempa bumi terjadi dan bersifat takterkendalikan. Maka, dalam pengertian itu, kita harus menerimanya dan pastikan bahwa kapasitas struktur melebihinya. Untuk mengimbangi percepatan bumi yang meningkat pada saat terjadi gempa, kekuatan bangunan menyangkut daya tahan struktur harus ditingkatkan untuk menghindari struktural rusak. (Kelly, 2001)
Adalah tidak praktis untuk terus meningkatkan kekuatan bangunan dengan tak terbatas. Di daerah-daerah rawan gempa yang tinggi, percepatan-percepatan yang menyebabkan guncangan di dalam bangunan bisa melebihi satu atau bahkan dua kali percepatan karena gaya gravitasi, g.
Merancang bangunan agar memenuhi tingkat kekuatan ini bukanlah pekerjaan gampang, maupun murah. Maka kebanyakan peraturan-peraturan mengizinkan Engineer untuk menggunakan daktilitas untuk mencapai kapasitas. Daktilitas adalah suatu konsep tentang membiarkan unsur-unsur struktural untuk mengubah bentuk di luar batas elastiknya pada suatu cara yang dikendalikan. Di luar batas ini, elemen struktural melemah dan dispalcement akan bertambah hanya dengan peningkatan gaya yang kecil.
Mengingat hal tersebut di atas, adalah suatu hal yang sulit untuk menghindari kerusakan bangunan-bangunan akibat gempa bila digunakan perecanaan konvensional, karena hanya bergantung kepada kekuatan komponen struktur itu sendiri, serta perilaku respon pasca elastis.
Seiring dengan perkembangan teknologi dalam perencanaan bangunan tahan gempa, telah dikembangkan suatu pendekatan desain alternatif untuk mengurangi resiko kerusakan bangunan akibat gempa, dan mampu mempertahankan integritas komponen struktural dan non-struktural terhadap gempa kuat. Pendekatan desain ini bukan dengan cara memperkuat struktur bangunan, tetapi adalah dengan mereduksi gaya gempa yang bekerja pada bangunan. Salah satu konsep pendekatan perencanaan yang telah digunakan banyak orang adalah dengan menggunakan isolasi seismic atau sering juga disebut dengan nama base isolation.
2. Konsep Dasar Base Isolation
Gagasan-gagasan di balik konsep dari base isolation adalah sangat sederhana, yaitu bagaimana memisahkan antara dasar bangunan yang berhubungan dengan tanah dan struktur bangunan atas, sehingga gerakan tanah tidak secara langsung ditransfer ke struktur atas. Konsep isolasi seismic merupakan perkembangan yang cukup signifikan dalam rekayasa kegempaan dalam 20 tahun terakhir ini. Sistem ini telah banyak digunakan Negara-Negara yang mempunai resiko tinggi terhadap gempa seperti Jepang, Italy, USA, Selandia Baru, Portugal, Iran, Indonesia, Turki, China, dan Taiwan,. sistem ini akan memisahkan bangunan atau struktur dari komponen horizontal pergerakan tanah dengan menyisipkan bahan isolator dengan kekakuan horizontal yang relative kecil antara bangunan atas dengan pondasinya. Bangunan dengan sistem ini mempunyai frekwensi yang jauh lebih kecil dari bangunan konvensional dan frekwensi dominan dari gerakan tanah. Akibatnya percepatan gempa yang bekerja pada bangunan menjadi lebih kecil. Ragam getar pertama bangunan hanya menimbulkan deformasi lateral pada sistem isolator, sedangkan bagian atas akan berperilaku sebagai rigid body motion. Ragam-ragam getar yang lebih tinggi yang menimbulkan deformasi pada struktur adalah orthogonal terhadap ragam pertama dan gerakan tanah sehingga ragam-ragam getar ini tidak ikut berpartisipasi didalam respons struktur, atau dengan kata lain energi gempa tidak disalurkan ke struktur bangunan (Naeim and Kelly, 1999 dalam Teruna,2007 )
Pada gempa kuat, isolator dengan kekakuan horizontal yang relatif kecil ,akan menyebabkan perioda alamiah bangunan lebih besar, (umumnya antara 2 s/d 3,5 detik). Pada perioda ini, percepatan gempa relatif kecil, khususnya pada tanah keras. Berhubung isolator akan mereduksi percepatan pada struktur bangunan. Namun, sebaliknya akan menyebabkan peningkatan perpindahan pada bangunan. Untuk membatasi perpindahan sampai pada batas yang dapat diterima, sistem isolasi juga dilengkapi dengan elemen-elemen yang mampu mendissipasi energi. Disamping itu, sistem isolasi juga mempunyai kemampuan untuk kembali pada posisi semula setelah terjadinya gerakan seismik. Sedangkah pada gempa kecil atau akibat angin kekakuan horizontal dari sistem isolator harus memadai, agar tidak menimbulkan getaran yang menyebabkan ketidaknyamanan penghuninya. Gambar 1.1 dan 1.2 dapat dilihat efek dari redaman (dumping) pada percepatan(accelerations) dan (perpindahan) displacement isolator.( Kelly,2001)
Gambar 1.1 Effect of Damping on Displacement
Gambar 1.1 Effect of Damping on Accellerations
3. Beberapa Tipe Base Isolator
3.1 Sliding System
Sistem sliding secara konsep sangat sederhana dan dapat didekati secara teoritis. Suatu lapisan didefinisikan sebagai koefisien gesek yang akan membatasi percepatan-percepatan pada nilai tertentu dan gaya yang dapat dipancarkan juga akan dibatasi pada koefisien gesek dikalikan berat.
Sistem sliding murni akan menimbulkan perpindahan (displacement) tak terhingga, dengan batas atas sepadan dengan pemindahan bumi maksimum untuk suatu koefisien gesek mendekati nol. Suatu struktur dengan sistim sliding tanpa gaya pemulih, akan mungkin berakhir di suatu posisi yang dipindahkan setelah satu gempa bumi dan boleh melanjutkan untuk memindahkan dengan aftershocks.
Ketiadaan suatu gaya pemulih bisa diperbaiki dengan menggunakan isolator yang digabungkan dengan tipe-tipe yang lain yang mana mempunyai suatu gaya pemulih atau dengan menggunakan bentuk permukaan luncur yang tidak datar , misalnya permukaan luncur yang berbentuk bola.
3.2 Ealstomeric Bearings
Elastomeric bearings terbuat dari lapisan-lapisan horisontal karet alami atau karet sintetis berupa lapisan tipis merekat diantara pelat baja. Pelat baja mencegah lapisan-lapisan karet menggelembung, dengan demikian bearing itu mampu mendukung beban vertikal yang besar dengan hanya mengalami deformasi yang kecil. Terhadap beban lateral bearing itu flexibel.
Elastomeric bearings yang sederhana menyediakan fleksibilitas, tetapi tidak ada peredaman signifikan dan akan bergerak pada beban layan. Salah satu metode yang digunakan untuk mengatasi kekurangan ini adalah dengan memasang inti pada bearing, elastomers special yang diformulasi dengan redaman tinggi dan kekakuan untuk regangan kecil, atau digabung dengan piranti lain.
3.3 Springs
Ada beberapa peranti-peranti dengan bahan dasar dari pegas-baja (steel springs) tetapi umumnya pemanfaatannya hampir bisa dipastikan adalah untuk isolati permesinan. Kelemahan utama dari pegas-pegas adalah karena bersifat fleksibel pada kedua arah (vertical dan horizontal). Pegas sendiri memiliki redaman yang kecil dan akan bergerak terlalu sering pada beban layan.
3.4 Rollers and Ball Bearings
Seperti pada pegas, umumnya dipakai pada permesinan. Tergantung pada bahan dari peluncur atau bantalan bola, ketahanan terhadap gerakan dapat cukup untuk menahan beban dan dapat menghasilkan redaman.
3.5 Soft Story, Including Sleeved Piles
Fleksibilitas disediakan oleh pin pada ujung elemen struktur seperti tiang dalam selubung, yang mana mengijinkan bergerak atau melemahkan tingkat pertama dari bangunan. Unsur-unsur ini menyediakan fleksibilitas tetapi tidak memberikan redaman, atau ketahanan pada beban layan dan pemakainnya bersama-sama dengan piranti lain yang menyediakan fungsi ini.
3.6 Rocking Isolation Systems
Sistem Rocking isolation adalah suatu kasus yang khusus dari disipasi energi yang mana tidak sesuai dengan definisi klasik isolation dengan mengijinkan translasi arah lateral. Sistim ini digunakan untuk struktur-struktur yang langsing dan prinsip dasarnya adalah karena suatu ayunan tubuh, periode dari respon meningkat dengan meningkatkan amplitudo ayunan. Hal ini menyebabkan efek periode berkala. Kemampuan memikul beban layan disediakan oleh berat dari struktur. Peredaman dapat ditambahkan dengan menggunakan peranti-peranti seperti baut atau kantilever-kantilever baja.
Gambar 3.1 Salah satu type Isolator (Elastomeric Bearing) Gambar 3.2 Pengujian geser Isolator a. Gedung dengan Base Isolation b. Posisi Isolator Gambar 3.3 Bangunan yang menggunakan Isolasi seismic
4. Konsep Desain Sistem Isolasi
4.1 Prosedur Disain
Gambar 4.1 Isolator performance
Syarat-syarat batas kemampuan sistim struktur dan batasan simpangan total dapat digunakan untuk menggambarkan periode optimum yang efektip dan tingkat peredaman. Sayangnya, pemilihan perangkat keras untuk menyediakan parameter-parameter ini bukanlah sederhana.
Kebanyakan sistem isolasi menghasilkan hysteretic redaman. Periode efektip dan redaman adalah merupakan fungsi dari perpindahan , seperti yang ditunjukkan di dalam Gambar 4-1 untuk lead rubber bearing.
Oleh karena ketergantungan displacement ini, proses harus dilakukan dengan cara iterasi seperti terlihat pada skema (Gambar 4.2) untuk sistem elastomeric bearing isolation.
Suatu kesulitan lebih lanjut muncul untuk tipe-tipe dari bearing ini, seperti periode dan redaman, ukuran rencana minimum dari bearing dan juga fungsi dari displacement. Untuk menyelesaikan masalah ini diperlukan langkah-langkah perhitungan dengan iterasi. Saat ini bebrapa produsen telah menyertakan spesifikasi teknis yang lengkap mengenai isolator yang diproduksinya.
Langkah-langkah iterasi yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut:
1. Pada masing-masing lokasi Isolator, pilih suatu ukuran rencana yang bearing/tegas berdasar pada beban vertikal dan asumsikan suatu displacement pada peride dan redaman yang ditargetkan.
2. Hitung kekakuan efektip, periode dan dan equivalent viscous damping pada displacement yang diasumsikan.
3. Dari parameter beban gempa, hitung actual displacement untuk kekakuan dan redaman ini.
4. Hitung kembali redaman untuk actual displacement. Ulangi step 3 jika perlu.
5. Cek dan lakukan penyesuaian ukuran rencana minimum yang diperlukan untuk mendukung beban-beban vertikal pada pemindahan ini jika yang perlu.
Step tersebut terus diulang-ulang sampai didapatkan nilai yang konvergen. Agar perhitungan lebih mudah dan cepat sebaiknya menggunakan bantuan computer untuk proses iterasi.
4.2 Propertis Karet Bahan Dasar Isolator
Material karet yang dapat digunakan untuk isolator secara umum berada dalam skala kekerasan dari 37 sampai 60, dengan propertis seperti terlihat pada Table 4.1.
Tabel 4.1 Propertis karet bahan dasar isolator
Hardness IRHD±2 | Young’s Modulus E (MPa) | Shear Modulus G (MPa) | Material Constant k | Elongation at Break Min, % |
37 | 1.35 | 0.40 | 0.87 | 650 |
40 | 1.50 | 0.45 | 0.85 | 600 |
45 | 1.80 | 0.54 | 0.80 | 600 |
50 | 2.20 | 0.64 | 0.73 | 500 |
55 | 3.25 | 0.81 | 0.64 | 500 |
60 | 4.45 | 1.06 | 0.57 | 400 |
4.3 Kekakuan vertikal dan kapasitas beban
Pengaruh parameter yang dominan kekakuan vertikal, dan kapasitas beban vertikal, dari suatu elastomeric bearing adalah faktor bentuk. Faktor bentuk dari suatu lapisan internal, Si, dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
Untuk Lead Rubber Bearings, yang ada lubang untuk lead core,
dimana:
Si: Shape factor for layer I ; B: Overall plan dimension of bearing; Bb: Bonded plan dimension of rubber : ti: Rubber layer thickness ; Ab=Bonded area of rubber : Apl= Area of lead core
Gambar 4.3 Luas daerah tekan efektif
4.4Kekakuan vertical
|
Kekakuan vertikal dari suatu lapisan internal dihitung sebagai:
dimana modulus tekan, Ec, adalah fungsi dari Shape factor dan konstanta material sebagai berikut :
Di dalam persamaan kekakuan vertikal, suatu daerah yang diredusir dari karet, Ar, dihitung didasarkan pada overlap daerah-daerah antara atas dan dasar dari bearing pada suatu displacement, ∆, sebagai berikut (lihat Gambar 4.3):
dimana:
dimana modulus tekan efektif, Ec, lebih besar dibandingkan dengan bulk modulus E∞ dan deformasi vertical merupakan bulk modulus dimasukkan sebagai pembagi Ec oleh 1+(Ec/E∞) untuk menghitung kekauan vertical.
Efek bulk modulus digunakan ketika kekakuan vertical dipakai untuk menghitungdeformasi vertical dari bearing, tetapi bukan regangan geser akibat beban vertical.
AASHTO 19999 mengenai Guide Specifications menyatakan sebagai berikut:
4.5 Kapasitas Tekan
Kapasitas terhadap beban vertical dihitung dengan menjumlahkan total regangan geser yang terjadi dalam elastomer. Total regangan dibatasi oleh batas molor dari elastomer dibagi dengan faktor keamanan sesuai dengan kondisi pembebanan.
Regangan geser dari beban vertical,
εsc= 6 si εc …………………………………………………………………… 4.8
dimana :
jika pengaruh dari rotasi bearing dimasukkan ke persamaan ini maka regangan geser menjadi :
Regangan geser akibat beban lateral adalah:
Untuk beban layan seperti beban mati dan beban hidup, criteria regangan batas dalam AASHTO14.5.IP adalah:
dan untuk beban ultimit dimana termasuk beban gempa :
Kombinasi dari persamaan tersebut, beban vertikal maksimum, Pγ, pada simpangan ∆ dapat dihitung dari :
4.6 Ketentuan AASHTO 1999
a. Regangan akibat beban hidup dan beban mati (tidak termasuk beban gempa), εs,s dan regangan akibat beban gempa, εs,eq.dibatasi sebagai berikut :
b. Regangan geser akibat gaya tekan,
4.7 Buckling Load Capacity
Untuk bearing yang mempunyai ketebalan relative tinggi, Elastic Buckling load merupakan hal yang kritis. Buckling load dihitung dengan the Haringx Formula sebagai berikut :
Momen inertia :
Modulus elastisitas efektif adalah :
Eb=E(1+0,742Si2) ........................................................................................... 4.15
Konstanta T, R dan Q dihitung dengan:
Buckling load pada simpangan =0 adalah :
untuk penerapan pada simpangan geser beban critical buckling diredusir sebagai berikut:
4.8 Kekakuan Lateral dan Histeresis Parameter dari Bearing
Lead Rubber bearings, dan Elastomeric bearing dibuat dari karet dengan redaman tinggi, mempunyai suatu hubungan gaya dan defleksi taklinear. hubungan ini disebut dengan loop histeresis, menggambarkan kekakuan yang efektip (rata-rata kekakuan pada suatu simpangan yang ditetapkan) dan redaman hysteretic disediakan oleh sistim. Tipikal kurva histeresis untuk Lead-rubber bearing adalah seperti yang ditunjukkan di dalam Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Kurva hysteresis LRBs
Untuk keperluan desain dan analisis, bentuk ini biasanya diwakili oleh kurva bilinear dengan kekakuan elastic (Ku) dan kekakuan leleh (Kd). Post-elastik stiffness Kd adalah sama dengan kekakuan dari elastomeric bearing sendiri (Kr). Gaya yang memotong sumbu displacement=0 disebut Qd, di mana:
Qd = σy.Apl ................................................................................. 4.19
Secara teoritis tegangan leleh dari inti bearing (lead), σy, adalah 10,5 MPa (1,5 ksi) tetapi kenyataannya secara umum berada pada kisaran 7 MPa sampai 8,5 MPa (1,0 sampai 1.22 ksi), tergantung pada beban vertical dan lead core confinement.
kekakuan Post-elastk, Kd , adalah sama dengan kekakuan geser dari elastomeric bearing sendiri:
Modulus geser, Gγ, untuk High damping ruber bearing adalah merupakan fungsi dari regangan geser γ, dengan asumsi lead-rubber bearing diproduksi dari karet alami dengan pemeliharaan standar.
Ku = Kr
untuk elastomeric bearings
untuk lead-rubber bearings
Gaya geser bearing pada simpangan spesifik adalah :
Fm = Qd + Kr .∆ ............................................................................. 4.23
dari rata-rata, atau efektif, kekakuan dapat dihitung dengan :
sedangkan periode dapat dihitung dengan :
luas area yang diarsir pada kurve histeresis untuk LBRs, yang dihitung pada simpangan=∆m adalah: Ah = 4Qd(∆m - ∆y)
Equivalent viscous damping (β) dihitung dengan rumus:
5. Disain Pemasangan Isolasi Seismic (Connection Design)
5.1. Elastomeric Based Isolators
Pada awalnya seismic isolation bearings menggunakan pelat baja dengan baut yang melekat pada bearing. Teknologi industry saat ini telah memproduksi isolasi seismic dihasilkan menngunakan pelat flens, atau load plates, yang dilekatkan pada sisi atas dan bawah bearing pada saat produksi. Plat-plat ini beukuran lebih besar dibanding isolator dan digunakan untuk menghubungkan bearing tersebut pada pondasi dan struktur atas.
Load plate bisa berbentuk lingkaran, bujur sangkar atau segi empat, tergantung pada kondisi proyek. Posisi baut harus cukup jauh dari isolator sedemikian hinga tidak merusak bearing saat terjadi simpangan maksimum akibat gempa besar.
Secara konsepsual isolator yang di install diantara pondasi dan struktur atas dapat dilihat pada gambar 5.1. Desain sambungan harus dipastikan dapat mentransfer gaya maksimum dengan aman dari pondasi lewat bearing ke struktur atas.
Gambar 5.1 Typical Installation in New Building
5.2 Dasar Desain
Hubungan dari isolation bearing pada suatu struktur harus mampu mentransfer gaya geser, beban vertical dan dan momen lentur. Momen lentur terdiri dari momen primer (V.H) dan momen sekunder akibat efek P.∆. Disain geser relative bisa secara langsung. Disain momen lentur cukup rumit karena bentuk dari blok tegangan tekan belum diketahui, khususnya pada beban horizontal yang ekstrim.
Seperti diketahui bahwa pendekatan disain yang digunakan disini adalah sangat sederhana dan tidak dapat merepresentasikan kondisi tegangan yang sesungguhnya dari hubungan (Connection interface) ini. Bagaimanapun juga, prosedur ini menunjukkan hasil yang konservatif, seperti yang ditunjukkan oleh uji prototype dengan menggunakan baut yang lebih sedikit , dan pelat lebih tipis, dibandingkan dengan yang akan dibutuhkan oleh penerapan prosedur ini.
Desain bearing termasuk desain plat dan desain baut. Dasar desain bergantung pada spesifikasi proyek, tetapi secara umum harus mengikuti ketentuan nilai-nilai tegangan izin AASHTO, dengan faktor peningkatan beban gempa(seismic) sebesar 4/3, atau mengikuti persyaratan-persyaratan AISC.
5.3 Design Actions
Gambar 5.2 Gaya-gaya pada Bearing pada kondisi terdeformasi
Gambar 5.3 Gaya-gaya pada kolom ekivalen
Momen total akibat gaya geser , V.H, ditambah eksentrisitas, P∆, ditahan oleh momen yang sama pada bagian atas dan bawah dari isolator. Momen disain dapat dihitung dangan persamaan:
M= ½(VH+P∆) …………. 5.1
Gambar 5.4 Asumsi distribus gaya baut.
5.4. Desain Baut
Gambar 5.4 Asumsi distribus gaya baut. |
Prosedur desain diadopsi dari pemasangan plat penghubung didasarkan pada kondisi yang disederhanakan seperti ditunjukkan di dalam Gambar 5.4, di mana beban aksial dan momen di tahan oleh kelompok baut. Di dalam Gambar 5.4, luasan yang digunakan untuk menghitung P/A adalah luas total semua baut dan modulus tampang digunakan untuk menghitung M/S adalah modulus tampang dari semua baut. Gambar 5.4 memperlihatkan tampang suatu plat beban berbentuk lingkaran. Suatu pendekatan yang serupa digunakan untuk bentuk-bentuk yang lain.
Seperti diketahui pada kenyataannya gaya tekan akan ditahan oleh kuat tekan dari pelat. Kekakuan bearing untuk menghitung ratio modular, dengan demikian posisi garis netral, tidak diketahui. Inilah yang menjadi alasan kenapa dibuat asumsi kelompok baut. Anggapan ini adalah konservatif, karena mengabaikan modulus tampang yang aktual dengan demikian merupakan batas atas dari tegangan baut.
Prosedur untuk desain baut adalah:
1. Hitung gaya geser per baut sebagai V/n, di mana n adalah banyaknya baut-baut.
2. Hitung beban aksial per baut sebagai P/A
3. Hitung tegangan per baut denngan momen = M/S, dimana S adalah modulus tampang kelompok baut.
4. Hitung tegangan netto per baut = P/A -M/S
5. Periksa baut untuk kombinasi tegangan geser ditambah tegangan tarik.
Prosedur ini dilaksanakan untuk beban lateral maksimum dan minimum.
5.5 Desain Plat
Untuk suatu pelat berbentuk lingkaran, asumsi distribusi gaya-gaya pada pelat segi empat tetap bisa dipakai sebagai dasar perhitungan, seperti ditunjukkan di dalam Gambar 5.5.
Lenturan diasumsikan kritis pada sekeliling segmen di bagian sisi tarik dari bearing.
Secara konservatif, dianggap bahwa semua baut (tiga di dalam contoh ini) mempunyai tegangan yang maksimum, dan juga bahwa ketiga baut tersebut mempunyai lengan tuas dari baut yang paling jauh.
Prosedur desain diadopsi untuk suatu pelat lingkaran didasarkan pada kondisi seperti ditunjukkan di dalam Gambar 5.6.
Gambar 5.6 Pelat lingkaran Gambar 5.5. Pelat bujur sangkar
6. Lokasi Pemasangan Isolator Pada Gedung
Sebagai syarat utama untuk instalasi sistem isolasi seismic adalah bangunan mampu bergerak secara horizontal, biasanya minimal 100 mm dan dalam kasus tertentu sampai dengan 1meter.
Contoh lokasi pemasangan isolator dapat dilihat pada gambar 6.1, 6.2, dan 6.3
· Gambar 6.1 Bangunan tanpa basement
· Gambar 6.2 Bangunan dengan basement
Jika bangunan memiliki basement, maka lokasi isolator bisa ditempatkan di puncak kolom, tengah-tengah, atau pada bagian dasar kolom/dinding basement seperti terlihat pada gambar 6.2.
· Gambar 6.3 penempatan isolator pada dinding
Untuk instalasi isolator pada dinding, maka dinding tersebut harus diperkuat untuk bisa mentransfer momen lentur dari gaya-gaya yang bekerja pada isolator ke pondasi, dalam hal ini biasanya memerlukan pilar segi empat seperti terlihat pada gambar 6.3.
7.Contoh Detail Pemasangan Isolator pada gedung
Gambar 7.1 sampai dengan 7.5 merupakan contoh detail penempatan isolator pada proyek baru dan juga proyek perbaikan struktur (retrofit project).
Gambar 7.1 Contoh Pemasangan Isolator pada bangunan baru
Gambar 7.2 contoh detail pemasangan isolator pada dinding
Gambar 7.3 Contoh Installation: Existing Column
Gambar 7.3 Contoh Installation: Existing Column |
Gambar 7.4 Contoh Installation: Existing Masonry wall
Gambar 7.4 Contoh Installation: Existing Masonry wall |
Gambar 7.5 Contoh Installation: Steel column
8. Penutup
Base Isolation yang biasa disebut isolasi seismic, merupakan salah satu kemajuan teknologi dibidang perancangan bangunan tahan gempa, yang memakai prinsip Pendekatan desain bukan dengan cara memperkuat struktur bangunan, tetapi adalah dengan mereduksi gaya gempa yang bekerja pada bangunan.
Kriteria utama dari pemilihan pemakian isolasi seismic ini adalah : jika banguna berada pada tingkat resiko gempa tinggi, dan jika akibat beban gempa dibutuhkan detai-detail yang terlalu besar, dimana tidak dibutuhkan akibat pembebanan yang lain.
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan pada pemilihan pemakain isolasi seismic adalah:
a. Berat bangunan, base isolation akan semakin efektif bekerja pada bangunan dengan massa yang berat.
b. Periode struktur, isolasi seiamic akan lebih efektif jika diterapkan pada bangunan dengan peride yang kecil.
c. Kondisi tanah, isolasi seismic sangat efektif pada tanah dasar keras.
Detail pemasangan dan penempatan isolator memerlukan beberapa asumsi yang banyak dipengaruhi oleh type dari isolator yang digunakan.
Daftar pustaka
Chopra, Anil K, 1995,Dinamics Of Structures Theory and Aplicastions to Eartquake Engineering,Prentice-Hall, New Jersey
Department of Public Works, 2005, Base Isolation Technology Los Angeles City Hall Seismic Rehabilitation Project,- Bureau of Engineering Los Angeles City
Kelly, Trevor E, 2001, Base Isolation of Structures- Design Guidelines,Edisi Revisi Juli 2001,Holmes Consulting Group,New Zealand
Kelly, James M.,1998 "Base Isolation: Origins and Development." National Information Service for Earthquake Engineering (NISEE) Website. <http://nisee.berkeley.edu/lessons/kelly.html>, Down load 25 Desember 2007
Ramallo C.; Johnson,E., Spencer Jr A., B. F,2002, ‘‘Smart’’ Base Isolation Systems, JOURNAL OF ENGINEERING MECHANICS, OCTOBER 2002
Shustov Valentin,2007, Modal Performance Factor Testing Procedure For Base Isolation ,California State University Northridge
Teruna Daniel Rumbi, 2007, Perencanaan Bangunan Tahan Gempa dengan Menggunakan Base Isolator (LRB): Contoh Kasus Gedung Auditorium Universitas Cendrawasih, Papaua,Seminar dan Pameran HAKI 2007,”Konstruksi Tahan Gempa di Indonesia”.
Takenaka Corporation,2007, Isolation Structures from The Ground Can Assure Safety Against Earthquakes, Download 25 Desember 2007, http://takenaka.com/