Kamis, 16 Juli 2009

MATERI KULIAH

Perencanaan Panjang Runway
A. Faktor-faktor yang mempengaruhi panjang Runway :
1. Karakteristik performan dan operasional dari pesawat yang dilayani
2. Cuaca, terutama angin permukaan dan suhu
3. Karakteristik Runway, seperti kemiringan (slope) dan kondisi permukaan
4. Faktor lokasi Aerodrome, sebagai contoh elevasi dari aerodrome yang menyebabkan tekanan barometer dan keterbatasan topografi
B. Panjang Aktual Runway
• Panjang aktual runway yang ada harus cukup untuk memenuhi persyaratan operasional pesawat dan tidak boleh kurang dari panjang terpanjang runway setelah dikoreksi dengan kondisi lokal.
• Persyaratan take-off dan landing harus diperhitungkan pada waktu menentukan panjang runway.
• Apabila data tentang pesawat yang akan menggunakan runway tersebut tidak diperoleh, panjang runway ditentukan berdasarkan panjang yang telah dikoreksi akibat kondisi lokal.
Panjang runway yang dibutuhkan oleh masing-masing jenis pesawat biasanya telah diberikan oleh pabrik pembuat pesawat tersebut. Tetapi dalam merencanakan panjang runway yang sesungguhnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
- Performan pesawat
- Pengaruh elevasi terhadap muka air laut, temperatur dan gradien.






Pengaruh Kemampuan Pesawat Terhadap Panjang Landas Pacu Dalam Perencanaan Geometric.

1. Pengertian dan difinisi.
a. Kecepatan awal untuk mendaki, Initial Climb Out Speed (V2):
Kecepatan minimum, pilot diperkenankan untuk mendaki sesudah pesawat mencapai ketinggian 10,5 M (35 Ft) di atas permukaan landas pacu.
b. Kecepatan putusan (Decision Speed (V1):
Kecepatan yang ditentukan dimana bila mesin mengalami kegagalan pada saat kecepatan V1 belum tercapai, pilot harus menghentikan pesawat, tetapi bila mesin mengalami kerusakan sesudah V1 tercapai tidak ada pilihan lain pilot harus terus menerbangkan pesawat (lepas landas) tidak boleh menghentikan atau mengurangi laju pesawat. Sebagai pedoman umum, besarnya V1 lebih kecil atau hampir sama dengan V2, kecepatan V1 ditulis terang-terang pada flight manual pesawat.
c. Kecepatan Rotasi (Rotation Speed) Vr :
Yaitu kecepatan pada saat itu pilot mulai mengangkat hidung pesawat, agar pesawat mulai lepas landas dengan menarik handel ke belakang.
d. Kecepatan angkat (Lift Off Speed) Vlof;
Kecepatan dari kemampuan pesawat, di saat itu badan pesawat mulai terangkat dari landasan.
e. Jarak Lepas Landas (Take Off Distance);
Yaitu jarak horizontal yang diperlukan untuk lepas landas dengan mesin tidak bekerja tetapi pesawat telah mencapai ketinggian 10,5 M (35 Ft) di atas permukaan landasan atau,115% dari jarak horizontal yang diperlukan untuk lepas landas dengan mesin-mesin masih bekerja, pesawat telah mencapai ketinggian 10,5 M (35 Ft) di atas permukaan lepas landas, dari dua keadaan mana yang lebih besar.
f. Take Off Run :
1). Jarak dari awal take off ke suatu titik, dimana dicapai V lof (Lift Off Speed), ditambah dengan setengah jarak, pesawat mencapai ketinggian 10,5 M (35 Ft) dari V lof, pada keadaan mesin pesawat tidak bekerja (In Operative).
2). Jarak dari awal take off ke suatu titik dimana dicapai V lof (Lift Off Speed) dikalikan 115% ditambah setengah jarak, pesawat mencapai ketinggian 10,5 M (35 Ft) dari V lof, dikalikan 115%. Dalam keadaan mesin pesawat bekerja, baik dari a dan b mana yang lebih besar itulah take off run.
Lihat gambar (1 - 6A)a dan gambar (1 - 6A)b.
g. Accelerate Stop Distance :
Jarak yang diperlukan untuk mencapai kecepatan V1 ditambah jarak yang diperlukan untuk berhenti dari titik V1.
h. Stop Way :
Perpanjangan landasan, digunakan untuk menahan pesawat pada waktu gagal lepas landas.
i. Clearway:
Area di luar akhir landasan lebarnya paling sedikit 500 feet. As Clearway merupakan perpanjang as landasan, masih di bawah kontrol Kepala Pelabuhan Udara, panjangnya tidak boleh melebihi 1/2 panjang take off run.

Keterangan gambar (1-6)A, gambar a melukiskan kasus pesawat lepas landas dengan mesin mengalami kegagalan.
Pesawat siap di titik A untuk lari berpacu, pilot siap untuk menjalankan pesawat, pesawat lari, dipercepat dan mencapai desicion speed V1 di titik B. Tiba-tiba mesin dianggap mati di titik ini dan diketahui oleh pilot tapi kecepatan sudah mencapai V1 pilot bisa melakukan salah satu tindakan dari :
1). Mengerem pedal pesawat, sampai pesawat berhenti di titik Y maka titik A-Y disebut Accelerate Stop distance.
2). Melanjutkah percepatan dengan mesin mati sampai men-dapat kecepatan rotasi (Rotation Speed) VR di titik C, di situ hidung pesawat terangkat naik dan setibanya di titik D, dengan kecepatan angkat (Lift Off Speed) Vlof, pesawat naik terangkat dari bumi dan melanjutkan terbang di akhir titik take off run X sampai mencapai ketinggian 10,5 m (35 feet) di atas landasan dan mulai mendaki di titik Z. Titik A - Z disebut take off distance.

Gambar b, melukiskan kasus penerbangan dalam keadaan lepas landas normal. Semua mesin pesawat berjalan baik, pesawat siap pacu di titik A, pilot mulai menjalankan pesawat, berpacu, mendapatkan kecepatan V1 di titik B' mesin normal.
Pilot melanjutkan percepatan sampai kecepatan rotasi (VR) di titik C di situ hidung terangkat naik dan mencapai kecepatan angkat V lof di titik D' pesawat terangkat naik dari ketinggian 10,5 m (35 feet) di titik Z' dan mulai mendaki.
Dianggap bahwa bila panjang landas pacu cukup menurut perhitungan berdasarkan kemampuan pesawat, pesawat dapat lepas landas dengan maximum Structural take off weight. Tetapi nyatanya belum tentu sebab harus kita perhatikan juga faktor lain yaitu ketinggian lapangan terbang di atas muka laut (Elevasi) dan temperatur udara. Faktor ini harus diperhatikan sebab FAA dan Industri pesawat terbang di Amerika sepakat untuk membuat aturan pesawat harus tetap dapat terbang dengan satu mesin mati, dengan kemiringan garis terbang yang ditentukan.
Kemampuan pesawat dengan satu mesin mati harus didemonstrasikan pada landasan tanpa obstacle (halangan), pada hari panas temparatur tinggi dan elevasi yang lebih tinggi, pesawat masih dapat terbang (dengan mesin satu mati atau mesin normal) pada kemiringan garis terbang minimum dengan muatan maximum Structural take off weight.
Namun untuk keselamatan ICAO telah membatasi kemiringan garis terbang itu dan pesawat harus terbang di atas garis kemiringan yang ditentukan agar tercapai maka muatan tidak bisa pada M.T.O.W, harus dikurangi, didapat berat yang disebut: Berat yang dibatasi oleh garis pendakian pesawat (Climb Limited Weight) inilah berat pesawat yang harus dilayani oleh panjang landas pacu tersedia, lebih panjang landasan, operator tidak mendapat keuntungan muatan,sebagai contoh:
Pada ketinggian muka laut, temperatur 80°F - 26,6°C maximum take off weight (MTOW) yang diizinkan, untuk Boeing 747 A adalah 710.000 lbs = 322 ton, dihitung terhadap maximum Structural take off weight.
Pada temperatur sama, elevasi 2.000 ft = 609,5 m di atas muka laut, M.T.O.W yang diizinkan diturunkan menjadi 662.000 lbs = 300,28 ton diperhitungkan antara kemampuan pesawat dan Climb Limited Weight.
Bila pada elevasi 2.000 ft = 609,5 m tidak ada batasan garis pendakian pesawat (Climb restriction) panjang landas pacu yang diperlukan untuk 710.000 lbs = 322 ton (MSTOW) menjadi 13.400 ft = 4.085 m padahal panjang landas pacu dengan Climb Limited Weight 662.000 lbs adalah 11.100 ft = 3.383 m.
Panjang landasan lebih dari 11.100 feet sudah tidak menguntungkan bagi pemerintah & perusahaan penerbangan. Bila ada halangan (Obstacle/Obstrution) pada jalur penerbangan di perpanjangan landasan dan obstruction cukup tinggi, misalnya gedung bertingkat, yang sudah tidak mungkin dipindahkan, antena. Take off weight yang diizin-kan harus dikurangi, sampai jalur terbang dengan Obstruction cukup jauh, berat ini disebut Obstacle Limited Weight.

Didalam menghitung kebutuhan panjang landas pacu, dipakai peraturan dari Federal Aviation Regulation (FAR), yang disusun oleh Pemerintah Amerika bersama Industri Pesawat terbang, serta persyaratan-persyaratan yang dikeluarkan oleh I.C.A.O. Peraturan berkenaan dengan pesawat bermesin piston, di dalam menghitung panjang landasan agar pesawat terjamin keselamatannya ditinjau dari kasus:

1). Lepas landas dengan anggapan mesin gagal, diperhitungkan landas pacu yang dibutuhkan cukup panjangnya, agar pesawat melanjutkan penerbangan walaupun kehilangan tenaga atau bahkan direm untuk berhenti.
2). Mendarat, diperhitungkan landas pacu yang diperlukan cukup panjangnya untuk berbagai teknik men¬darat, Overshoot, pendaratan yang jelek dan semacamnya.
Peraturan berkenaan dengan pesawat bermesin turbin, prinsip masih memakai kriteria di atas, tetapi ditambahkan kriteria ketiga,
3). Yaitu "All Engine Take Off" semua mesin dalam keadaan baik. Diperhitungkan landas pacu cukup panjangnya, sehingga memungkinkan berbagai variasi dalam tehnik lift off dan tehnik lift off dari karakteristik kemampuan pesawat tertentu. Peraturan dengan anggapan all engine take off dipakai dalam menghitung pesawat turbin, sebab kejadian sehari-hari jarang ada mesin turbin mengalami kegagalan.
Panjang landas pacu untuk pesawat bermesin turbin, diambil yang terpanjang dari ke 3 analisa di atas. Dalam membicarakan pesawat bermesin piston dan pesawat bermesin turbin, kata-kata landas pacu, lan¬dasan, runway, menunjukkan perkerasah dengan kekuatan penuh sehingga runway atau Full Strenght Pavement adalah sinonim. Panjang landas pacu untuk pesawat bermesin turbin tidak memerlukan perkerasan sepanjang take off distance, tetapi untuk pesawat bermesin piston memerlukan perkerasan sepanjang take off distance. Untuk membahas peraturan bagi pesawat bermesin turbin (FAR) Part 25 dan 121 dengan tiga keadaan yang ditinjau, marilah kita lihat gambar 1 - 6B.







Kasus pendaratan (landing):

Gambar (1 - 6B)a paling mudah untuk diterangkan jarak pendaratan (Landing Distance), diperlukan oleh pesawat yang datang ke lapangan terbang, harus cukup panjang sehingga pesawat dapat mendarat dan berhenti pada 60% dari panjang landasan, dengan anggapan bahwa pilot membuat pendekatan — (Approach) pada kecepatan semestinya dan melintasi Threshold — pada ketinggian 50 feet, landing distance harus mempunyai perkerasan penuh. Landing distance untuk pesawat bermesin piston diperhitungkan sama dengan pesawat bermesin turbin.
Kasus, All Engine Take Off (Operating) :
Gambar (1 - 6B)c.disebut 'Take Off Distance" untuk pesawat dengan berat Spesifikasi take off distance harus 115% dari panjang sesungguhnya untuk mencapai ketinggian 35 Feet (10,5 m) tidak seluruh panjang harus mempunyai perkerasan dengan Full Strength.
Yang harus diperhatikan seluruh panjang (115% x panjang yang dibutuhkan sesungguhnya) harus bebas dari hambatan untuk melindungi bila terjadi Over Shooting take off.
Bagian yang tidak diberikan perkerasanlah yang lebih kita kenal dengan Clearway.
Clearway sebagai perpanjangan dari akhir landas pacu, kemiringan memanjang tidak boleh lebih dari 1,25%, sedang-kan di atasnya tidak boleh ada benda yang menjulang atau bukit yang mengganggu.
Di daerah-daerah ini boleh dipasang lampu-lampu threshold tetapi tingginya tidak boleh lebihtinggi dari 66 Cm dari permukaan landasan dan dipasang di ujung-ujung landasan.
Setengah dari selisih antara take off Distance (115% mencapai ketinggian 35 feet/10,5 m) dengan 115% kali jarak pesawat mencapai lift off adalah Clearway.
Take off distance dikurangi Clearway disebut take off run yang harus mempunyai perkerasan dengan full strength.

Kasus Mesin Pesawat Gagal.
Pada kasus ini jarak lepas landas yang dibutuhkan adalah jarak sesungguhnya untuk mencapai ketinggian 35 feet (10,5 m) tanpa penambahan presentase 15% seperti kasus all engine operating di atas (gambar 1-6 B)b. Kejadian demikian jarang terjadi. Dalam kasus ini digunakan juga Clearway yaitu setengah dari selisih antara take off distance (jarak untuk mencapai ketinggian 10,5 m) dikurangi jarak untuk mencapai lift off. Sisa take off distance dikurangi Clearway harus mempunyai perkerasan Full Strength akan tetapi untuk pesawat-pesawat bermesin piston seiuruh take off distance harus mempunyai perkerasan full strength tanpa ada Clearway yang boleh tanpa perkerasan.
Sebagai dikatakan di depan pada kejadian mesin gagal dibutuhkan panjang landasan yang cukup untuk memberhentikan pesawat.
Panjang landas pacu cukup untuk berhenti ketika terjadi kegagalan mesin itu kita kenal sebagai "Accelerate Stop Distance".
Untuk pesawat bermesin piston, accelerate stop distance harus mempunyai perkerasan yang full strength, tetapi untuk pesawat bermesin turbin kegagalan lepas landas jarang terjadi, sehingga pada ujung landasan tidak perlxj mempunyai perkerasan sekuat take off run cukup diperluas dengan Strength yang lebih kecil, daerah ini disebut Stopway (Amerika) Overrun (Inggeris).

Tampak di sini bahwa take off distance dan Accelerate Stop Distance tergantung kepada kecepatan pesawat, ketika mesin gagal mengangkat pesawat. Kecepatan ini disebut V1 ditentukan oleh pabrik pesawat terbang berdasarkan percobaan berratus kali, selanjutnya dikenal "Kecepatan kritis mesin untuk menderita kegagalan".
Pesawat bermesin piston membutuhkan full strength pavement untuk seluruh panjang accelerate stop distance dan take off distance yang paling ekonomis adalah memilih titik, pesawat mencapai V1 sehingga jarak yang diperlukan untuk stop dari titik V1 tercapai.



Sama dengan jarak yang diperlukan (dari titik yang sama) untuk mencapai ketinggian spesifik di atas landasan (bagi pesawat bermesin piston ketinggian tidak selalu 35 feet) Konsep ini disebut.:
— Balanced Field Length.
— Balanced Runway.
Menghasilkan panjang landasan yang paling pendek: agar mudahnya V1 dipilih sehingga jarak take off yang diperlukan = jarak Accelerate stop yang diperlukan.
Bagi pesawat bermesin turbin, tidak perlu mengikuti konsep di atas cukup dengan menambahkan Stopway atau Clearway pada perpanjangan landas pacu.
Dari uraian di atas, perlu dimengerti hubungan-hubungan antara V1 dan berbagai komponen dari take off distance dan accelerate stop distance (lihat gambar 1 - 8).

Bisa dilihat bahwa makin tinggi kecepatan V1 take off distance menjadi lebih pendek, sebab pesawat mendapat keuntungan dari percepatan mesin-mesin, tetapi accelerate stop distance yang berkaitan bertambah.
Gambar 1 - 8 termasuk konsep untuk pesawat bermesin turbin yaitu dengan adanya stop way atau Clearway tetapi konsep balanced field length juga tampak di situ, beberapa alternative bisa dimungkinkan :
1). Dipilih V1 sama dengan konsep Balanced Field Length, panjang Clearway dan Stopway menjadi sama. berarti landas pacu yang diperkeras (ditunjukkan. Lu-1) dapat diperpendek sepanjang Clearway tetapi stop way masih tetap harus dibangun.
2). Dipilih V1 sedemikian hingga dapat imbangan antara accelerate stop distance dengan take off run. Dalam pilihan ini panjang landas pacu adalah Lu-2 lebih pendek dari LB tanpa dibutuhkan stopway dengan pilihan ini landas pacu diperpendek.
3). Dipilih kecepatan V1 yang agak tinggi dengan tujuan mengurangi panjang take off distance, tetapi accelerate stop distance akan bertambah juga. Dalam pilihan ini panjang landas pacu Lu-3 tetapi harus diingat Accelerate Stop distance bertambah panjang.
Alternative terakhir menguntungkan bagi lapangan terbang yang terdapat halangan (obstacles) di dekat akhir ujung landasan. Peraturan mengenai pesawat bermesin turbin memungkinkan sejumlah alternative kepada Operator, bahwa panjang take off distance dan panjang take off run untuk kasus kegagalan mesin harus dibandingkan dengan panjang yang berkaitan dengan kasus semua mesin berjalan baik.
Jarak yang lebih panjang tentu yang diambil.
Sebegitu jauh tampak bahwa panjang landas pacu berkaitan erat dengan ketinggian, kecepatan dan kebutuhan-kebutuhan spesifik lainnya dari kemampuan pesawat.
Perusahaan penerbangan dan pengelola pelabuhan udara sama-sama berkepentingan terhadap Clearway sebab dengan adanya Clearway di saat tertentu perusahaan penerbangan memungkinkan untuk menambah take off weight dengan tambahan biaya sedikit tetapi pesawat tetap aman.


Untuk menerangkan pendakian (Climb) dan bebas halangan (Obstacle Clerance) lihatgambar (1 -9).
Pendakian diatur dalam istilah "Take Off Flight Path" yaitu mulai dari pesawat mencapai ketinggian 35 feet dari muka tanah (dengan satu mesin mati) sampai titik pesawat mencapai ketinggian 1.500 feet. Take off flight path dibagi menjadi empat segmen, segmen satu, segmen dua, segmen tiga dan segmen empat. Segmen tiga dan empat disebut segmen transisi, perhatikan setiap segmen mempunyai kemiringan pendakian minimum, ditentukan oleh jumlah mesin pesawat, jadi tiap-tiap pesawat mempunyai take off flight path yang spesifik.
Kemiringan terbesar pada segmen kedua, segmen kedua ini segmen yang kritis dan menentukan dalam menghitung Climb Limited Weight. Lihat segmen kedua mulai dari titik ketika landing gear ditarik ke dalam badan pesawat dan berakhir ketika pesawat mencapai ketinggian 400 ft di atas permukaan akhir landas pacu.
Pada segmen trasisi pilot atau perusahaan penerbangan memiliki kebebasan untuk memilih pendakian pesawat dengan caranya masing-masing dengan batasan tidak lebih rendah dari garis kemiringan yang sudah ditentukan oleh gambar 1-9.
Jika terdapat halangan (Obstacle) sepanjang jalur penerbangan, sedangkan obstacle itu cukup tinggi, garis pendakian minimum pada gambar 1-9 itu harus dikoreksi sehingga didapat garis jalur penerbangan bebas dari halangan.


Sesuai peraturan penerbangan, jalur penerbangan bebas halangan disebut "Net Take Off Flight path" dengan satu mesin mati, kebebasan terhadap halangan tidak boleh kurang dari 35 feet.
Net take off flight path didapat dengan mengalikan jalur penerbangan sesungguhnya dengan 0,8% pesawat bermesin ganda; 0,9% untuk pesawat bermesin tiga dan 1% untuk pesawat bermesin 4 (Federal Aviation Regulation Part 25).
Anggap terdapat obstacle setinggi 120 ft = 36,6 m sejauh 3.400 ft = 1.036 m dari ujung landas pacu. Dengan kondisi ini diperhitungkan Obstacle Limited Weight 656.000 lbs = 297, 56 ton sedikit lebih kecil dari Climb Limited Weight yang 662.000 lbs = 300 ton.
Panjang landas pacu untuk melayani pesawat berat 656.000 Ib adalah 10.900 ft = 3.322 m dari sini kita bisa tahu bahwa bila obstacle bisa dihilangkan atau diturunkan maka pesawat bisa membawa 662.000 lbs = 300 ton.
Dengan dibuangnya obstacle, kehilangan berat yang bisa dibawa pesawat yang berarti kerugian perusahaan pener¬bangan sejumlah 54.000 lbs menjadi 48.000 lbs tidak terjadi.
Dari penjelasan terakhir ditunjukkan bahwa dalam pemilihan lokasi untuk lapangan terbang, menguntungkan bila :
1. Relatif bebas dari obstacle pada jalur penerbangan.
2. Sedekat mungkin ke daerah muka laut, terutama untuk pesawat yang akan diterbangkan pada atau sekitar maxi¬mum Structural take off weight dan pada saat yang sama mempunyai temperatur tinggi.
















PENGARUH PANJANG RUNWAY TERHADAP PERFORMAN PESAWAT.
Panjang mnway (field length = FL) biasanya terbentuk dari tiga komponen, yaitu : full-strength pavement (FS), partial-strength pavement atau stopway (SW) dan clearway (CL). Panjang runway yang dibutuhkan tersebut tergantung dari performan pesawat.
Yang dimaksud performan pesawat adalah kemampuan pesawat untuk melakukan take-off dan landing.
Ada empat kondisi performan pesawat yang harus diperhatikan
• Normal take-off
• Take-off dengan kegagalan mesin
• Pembatalan take-off
• Landing
Untuk masing-masing kasus di atas, berikut ini diberikan beberapa persamaan untuk menentukan panjang runway.


1. Normal Take-off
FL = FS + CLmax
TOD=1.15 (D35)
CLmax= 0.50 [TOD - 1.15 (LOD)]
TOR = TOD - CLmax
FS = TOR
2. Engine failure take-off
FL = FS + CLmax
TOD = D35
CLmax = 0.5 (TOD - LOD)
TOR = TOD - CLmax
FS = TOR
3. Pembatalan take-off
FL = FS + SW
FL = ASD
4. Landing
FL = LD
LD = SD/0.60
FL = LD
Dari keempat kasus tersebut di atas dipilih salah satu yang mewakili, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada persamaan berikut:
FL = max (T0D1, T0D2, ASD; LD)
FS = max (TOR1, TOR2, LD)
SW = ASD - max (TOR1, TOR2, LD)
SW min = 0
CL = min (FL - ASD, CL1max, CL2max)
CLmin = 0 ; CLmax = 1000 ft




Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada gambar 1.6. dan contoh sbb. :
Example Problem Determine the runway length requirements according to the specifications of FAR parts 25 and 121 for a turbine-powered aircraft with the following performance characteristics:
Normal take-off:
Lift off distance = 7000 ft (LOD = 7000 ft)
Distance to 35ft height = 8000 ft (D35 = 8000 ft)
Engine failure:
Lift off distance = 8200 ft
Distance to 35-ft height = 9100 ft
Engine-failure Aborted take off:
Accelerate-stop distance = 9500 ft
Normal landing:
Stop distance = 5000 ft
From Eqs. (3-1) for a normal takeoff
TOD1 = 1.15(D351) = 1.15 x 8000 = 9200 ft
CL1 max = 0.50 [TOD1 – 1.15(LOD1)]
= 0.50[9200 - 115(7000)] = 575 ft
TOR1 = TOD - CL1max = 9200 – 575 = 8625 ft
From Eqs. (3-2) for an engine-failure takeoff,
TOD2 = D352 = 9100 ft
CL2max = 0.50(TOD2 - L0D2) = 0.50(9100 - 8200) = 450 ft
TOR2 = TOD2 - CL2max= 9100 - 450 = 8650 ft




From Eq. (3-3) for an engine-failure aborted takeoff,
ASD = 9500 ft
From Eqs. (3-4) for a normal landing,
LD=
By using the above quantities in Eqs. (3-5) through (3-8), the actual runway component requirements become
FL = max (TOD1, TOD2, ASD, LD)
= max (9200, 9100, 9500, 8333)
= 9500 ft
FS = max (TOR1, TOR2, LD)
= max (8625, 8650, 8333) = 8650 ft
SW = ASD – max(TOR1, TOR1, LD)
= 9500 - max (8625, 8650, 8333)
= 9500 - 8650 = 850 ft
CL = min (FL - ASD, CL1max, CL2max)
= min (9500 - 9500, 575, 450) = 0
The sketch in Fig. 3-23 shows the required runway field length and the components of this field for operations in both directions. Observe that for this case there is a displaced threshold at each end of the runway since the stopway is not available for normal aircraft operations.








B. PENGARUH ELEVASI, TEMPERATUR, DAN GRADIEN
Aeroplane. Reference Field Length (ARFL) didefinisikan sebagai panjang field length minimum yang diperlukan oleh pesawat terbang yang bersangkutan untuk dapat take-off dengan Maximum Take-off Weight, dimana kondisi lapangan terbang adalah Mean Sea Level (MSL), pada kondisi atmosfir standar, runwaynya tidak mempunyai kelandaian (Zero Runway Slope), serta tidak ada angin. ARFL setiap pesawat terbang dapat dilihat di flight manual yang diterbitkan oleh pabrik pesawat terbang yang bersangkutan.
ARFL suatu pesawat terbang yang ada bukanlah panjang aktual yang dipersiskan oleh pesawat terbang tersebut untuk dapat beroperasi di suatu daerah tertentu. Hal ini disebabkan karena kondisi lingkungan daerah tersebut berbeda dengan kondisi ditnana ARFL ditetapkan. Karena itu, untuk mendapatkan panjang runway aktual untuk take-off, ARFL tersebut perlu dikoreksi akibat eievasi, temperatur, dan kelandaian runway.
Makin tinggi eievasi suatu tempat, makin berkurang kepadatan (density) udara di tempat tersebut. Karena itu untuk mendapatkan gaya angkat yang memadai pada daerah tersebut pesawat terbang harus bergerak lebih cepat. Akibatnya runway yang diperlukan harus lebih panjang. Koreksi akibat eievasi lapangan terbang ini adalah bahwa panjang runway hams diperpanjang 7% setiap 300 m kenaikan eievasi terhadap muka air laut.
Temperatur yang makin tinggi akan mengurangi kepadatan udara. Karena itu makin tinggi Airport Reference Temperatur (ART), makin panjang runway yang diperlukan. ARFL yang telah dikoreksi akibat pengaruh eievasi harus dikoreksi lagi akibat pengaruh temperatur. Panjang runway yang diperlukan untuk take-off yang telah dikoreksi akibat eievasi haras diperpanjang 1% untuk setiap derajat Celcius naiknya ART terhadap temperatur standar lapangan terbang tersebut.
Temperatur standar adalah temperatur yang berhubungan dengan atmosfir standar. Temperatur standar suatu lapangan terbang dipengaruhi pula oleh eievasi lapangan terbang tersebut. Pada perencanaan lapangan terbang atmosfir standar yang digunakan adalah atmosfir standar international (International Standard Atmosphere, ISA), dimana pada kondisi ini temperatur pada Mean Sea Level adalah 15° C. Untuk menentukan temperatur standar suatu lapangan terbang dapat digunakan nomogram yang ada pada Gambar 1.7.
Selanjutnya panjang runway yang dibutuhkan untuk take-off harus dikoreksi terhadap kelandaian memanjang runway. Untuk itu digunakan Effective Gradient, yaitu rasio antara selisih titik tertinggi dan titik terendah pada runway terhadap panjang runwaynya. Untuk setiap 1% Effective Gradient runway harus diperpanjang 10%.'
Secara singkat, dapat dirumuskan sebagai berikut:
Actual runway length = ARFL x Ce x Ct x Cs
Dimana :
Ce= 1+(0.O7xE/3O0)
Ct = 1 + 0.01 [T - (15 - 0.0065E)]
Cs = 1 +O.1OS
Berikut ini diberikan contoh untuk menghitung panjang runway aktual yang diperlukan oleh suatu pesawat terbang untuk dapat beroperasi di suatu lapangan terbang dengan kondisi lingkungan tertentu.
a Data
1. Pesawat terbang rencana : Airbus A-300-600 dengan ARFL = 2384 m
2. Elevasi lapangan terbang : 500 m (1500 ft.) di atas Mean Sea Level (MSL)
3. Temperatur standar lapangan terbang tersebut adalah l2°C.
4. Airport Reference Temperature (ART) : 29° C
5. Kelandaian (effective slope) runway : 0.8 %
b. Koreksi terhadap panjang runway
1. Panjang runway yang dikoreksi akibat pengaruh elevasi = [ 2384 x 0.07 x 500/300 ] + 2384 = 2635 m
2. Panjang runway yang dikoreksi akibat pengaruh elevasi dan temperatur = [2635 x (29 - 12 ) x 7/100 ] = 3083 m
3. Panjang runway yang dikoreksi akibat pengaruh elevasi, temperatur, dan kelandaian = [ 3083 x 0.8 x 10/100 ] + 3083 = 3330 m
c. Panjang runway aktual : 3330 m.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar